Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2010/07/11

Bab 6 - Paris Tak Hanya Eiffel

Ini hanyalah sebagian nukilan dari Bab 6 Cinderella in Paris


BAB 6
PARIS TAK HANYA EIFFEL
               
Kami tiba di Gare Paris Du Nord setelah satu jam dua puluh menit di Kereta Thalys yang jauh lebih nyaman dari kereta Amsterdam-Brussel Midi. Begitu tiba di Stasiun yang besar ini, aku mengalami sedikit masalah dalam komunikasi. Kakakku bilang tidak semua orang Perancis bisa dan mau berbicara dalam bahasa Inggris. Sewaktu di Indonesia aku berpikir itu bukan masalah besar, aku toh bisa berbicara bahasa Inggris dengan lancar dan sedikit Perancis. Tetapi di sini, aku baru sadar, mereka benar-benar acuh tak acuh pada orang yang tidak berbahasa Perancis. Ternyata tidak semua orang bule bisa berbahasa Inggris, tawaku getir. Baiklah, daripada sesat di jalan, aku putuskan untuk berani bertanya dengan kalimat andalanku: “Excusez moi, vous parlez Anglais?”.

Aku mencegat dua anak muda yang menurut dugaanku akan bersenang hati menjawab pertanyaanku dalam bahasa Inggris. Tetapi sayangnya mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Parahnya telingaku tidak terbiasa mendengar bahasa Perancis mereka, sehingga hanya sedikit kata yang kutangkap.
“Ngomong perancisnya cepat sekali ya Van? Beda sama guru kita di CCF?” kataku sambil mengeluarkan kamus Perancis.

Lima menit kemudian ada seorang pria muda yang kuduga dari penampilannya seorang profesional muda Paris. Wajahku berbinar-binar penuh harapan.
“Profesional muda pasti bisa bahasa Inggris, Van” kataku sok tahu. Vany hanya mengangguk tanda setuju.

“Excusez moi, vous parlez Anglais?” sapaku sopan menghentikan langkahnya.
”Ah desole, non. Anda bisa bertanya ke loket penjualan” si profesional muda nan rupawan menunjuk ke sebelah kanan.

Merci, bonne journee monseur”, aku memberikan senyum manis terakhirku. ”Sayang, cakep-cakep ngga bisa bahasa Inggris”, keluhku saat si laki-laki berjas itu masuk ke dalam. Vany tertawa.

Dalam hal ini aku patut bangga sebagai orang Indonesia, karena kita gemar sekali berInggris-Inggris ria, meskipun hanya sepatah dua patah kata dan tidak peduli penulisan atau pengucapannya benar atau salah. Jangan heran jika di depan pasar Ciputat yang super macet dan becek, banyak gerobak penjual ayam goreng dengan bangga menulis “Freid Chicken” di kaca depan gerobak mereka. Bengkel Bang Togar di dekat gerbang perumahan tempat aku tinggal pun tak mau kalah, mereka menulis ‘menjual sper part genuin’ di plang iklan mereka.

Masih termangu-mangu di dekat mesin penjualan tiket metro, aku sibuk mencontek Kamus Perancis sakuku, merangkai kata-kata sebelum memberanikan diri bertanya ke petugas di loket pembelian tiket.
Bonjour” sapaku ramah sambil mengumpulkan keberanian menghadapi ibu petugas penjual tiket.
Bonjour” ibu itu menatapku dengan ramah.
Je…voudrais …acheter.. le ..billet…..” kataku sambil menaruh kamus Inggris-Perancisku di loket.
Ibu ini melirik kamusku.

Where is your destination?” dia langsung menukas pertanyaanku. Mungkin tidak sabar menunggu aku menyelesaikan kalimat.

Untunglah dengan banyak bertanya ke setiap orang yang aku jumpai di Metro dan stasiun, akhirnya aku dan Vany tiba dengan selamat di Stasiun Marne La Valee, di sana kakak dan suaminya sudah menunggu.
***
………
Puas melahap sup ikan dan pangsit goreng dengan cocolan sambal, kami naik bis ke daerah Le Pere Lachaise. Sebenarnya ada pemakaman yang jauh lebih besar di Paris yakni Pantheon yang di dalamnya terdapat makam Presiden Perancis. Tetapi pemakaman yang akan aku singgahi ini adalah salah satu makam terkenal di dunia yang dijadikan obyek wisata para turis internasional. Karena kompleks pemakaman ini sangat luas, di depan pintu masuk terpancang papan denah kompleks pemakaman yang dibagi dalam beberapa blok. 

Makam yang saat ini ingin kulihat adalah kuburan sastrawan dan penulis drama terkemuka Perancis Moliere, komposer musik klasik Chopin,  penulis novel dan puisi Irlandia Oscar Wilde, penyanyi balada Perancis Edit Piaff dan vokalis James Douglas Morrison, atau lebih dikenal dengan sebutan Jim Morrison yang terkenal dengan lagunya Fire. Entah karena unsur lokasi atau kepercayaan yang berbeda antara budaya Barat dan Indonesia, kalau di Indonesia pastilah aku merasa ngeri jika berada di dekat kuburan. Apalagi seperti saat ini, aku sudah ada di antara kuburan-kuburan tua yang sudah ada di sini ratusan tahun silam. Tetapi anehnya, di sini aku tidak merasa ketakutan akan ada penampakan, seperti yang pernah aku lihat di acara TV di Indonesia.

Aku menatap makam Moliere, salah satu sastrawan besar Perancis yang menciptakan tata bahasa Perancis yang super rumit.

“Hm, kakek Moliere, tahukah kakek, saat ini banyak orang pusing dengan tata bahasa Perancis yang kakek ciptakan?” aku mengadu di depan pusaranya.

“Hih gila lu Ras, nanti kalau arwahya bangkit gimana?” Vany segera mengajakku pergi.

Walaupun tadi aku dan Vany sudah melihat denah di dekat pintu masuk yang menjelaskan pembagian kompleks kuburan dalam blok-blok, jalan dan gang, tetapi karena tempat ini sangat luas, ternyata cukup sulit untuk menemukan lokasi kuburan favoritku, Jim Morrison. Kebetulan di depan kuburan Chopin, berdiri  sekelompok turis dari Inggris mengerumuni satu orang pemandu wisata yang dengan lancarnya menjelaskan cerita masing-masing makam dalam bahasa Inggris. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencuri dengar penjelasan bapak tua pemandu wisata tersebut. Tanpa malu kami mengekor di belakang grup turis Ingris ini.

Untunglah setelah dua puluh menit mengedari makam ini, pemandu grup Inggris membawa kami ke makam yang sangat menonjol dan ramai dikunjungi. Aku membaca tulisan pada batu nisan kotak, James Douglas Morrison. Sosok Jim pertama kali kukenal ketika membaca profil Eddi Vedder, vokalis band rock kesayanganku, Pearl Jam dan juga pemain sepak bola Perancis Youri Zorkaeff. Keduanya mengidolakan The Doors grup rock tahun enampuluhan yang dipimpin Jim Morrison.

Walaupun Jim yang terkenal dengan lirik lagunya yang indah bagaikan puisi ini meninggal puluhan tahun silam di apartemennya di Paris, tetapi namanya masih dikenal anak muda yang hidup dua puluh tahun lebih sejak dia meninggal dan bahkan mempengaruhi banyak pemusik rock terkenal di Amerika. Hal yang mencolok dan membedakan kuburan ini dengan kuburan orang terkenal lainnya di kawasan Le pere lachaise, banyak anak-anak muda yang sebagian besar bergaya grunge dan gothic dari berbagai negara berdiri di depan kuburannya dan menghiasi pusaranya dengan bunga mawar merah darah yang mereka bawa untuk sang idola.

Dari kompleks pemakaman, aku ingin mengikuti warga Paris  yang berjemur di taman. Aku dan Vany naik Metro ke arah Taman Luxembourg di pusat kota. Kata kakakku setiap bulan di pagar taman ini dipamerkan lukisan-lukisan pelukis muda dengan tema yang berbeda. Kali ini temanya adalah laut. Banyak pengunjung yang menikmati pemandangan indah lukisan tersebut sebelum ataupun sesudah masuk Taman.

 Taman Luxembourg tidak terlalu besar, tetapi yang menarik pengelola taman ini memberikan sentuhan seni kontemporer dari pintu masuk sampai mendekati kolam di mana orang-orang berkumpul di sekelilingnya untuk menikmati pancaran sinar matahari sore. Di dekat pintu masuk sampai kolam, di antara pasir putih ditengah-tengahnya  ditaburkan pasir biru selebar tiga meter yang dibatasi oleh pohon-pohon kecil. Di atas jalur pasir biru itu di atas pohon digantung foto-foto dengan diberi pencahayaan khusus yang berkesan temaram. Ada sensasi menenangkan dan romantis saat berjalan di atas pasir biru di bawah naungan pohon menjalar. Aku seperti berada di bawah laut yang menentramkan

Tidak jauh dari Taman Luxembourg, terdapat kawasan tempat tinggal warga Paris keturunan India , yang menunjukkan keberagaman etnis penduduk Paris , selain kawasan keturunan imigran Maroko, Alzajair, Italia, dan Cina. Memasuki kawasan India ini, sejenak aku lupa kalau kakiku masih menapak di jalanan Paris, ibukota Perancis. Melihat toko, restoran dan orang-orang yang memenuhi jalan dan berpapasan denganku di kawasan padat ini, seolah olah aku sedang berada di salah satu kota di  India.  Beberapa toko musik dan film yang menjual VCD dan DVD memasang poster aktris dan aktor India terkenal. Lagu  India yang pernah aku  dengar di film  India yang diputar di Indosiar, terdengar familiar di telingaku.

”Kita masih di Paris ya Van?” aku terbelalak demi melihat poster Shah Rukh Khan ada di salah satu toko musik.

“Awas Ras, jangan goyang” seloroh Vany

            “Pantat ngga goyang Van, jempol udah ngibing dari tadi”

Aku berhenti tertawa karena beberapa ibu usia paruh baya yang masih mengenakan lilitan sari di tubuhnya lewat di depanku. Vany berhenti di salah satu restoran vegetarian India di ujung jalan. Kami membaca ringkasan menu di depan restoran. Dari kaca bening restoran, kami bisa melihat pengunung restoran ini. Ternyata kedai makanan vegetarian ini tidak hanya dipenuhi oleh warga keturunan India, tetapi juga warga Paris dari ras lainnya. Kami melangkah masuk ke dalam kedai mencoba petualangan kuliner. Suasana di sini tidak jauh beda dengan suasana rumah makan di India, hanya saja yang membuat aku tersadar masih ada di Paris, saat pelayan restoran yang asli orang India menawarkan buku menu dalam Bahasa Perancis yang lancar dengan sedikit aksen India.

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?