Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2014/11/22

Kebencian Tidak Akan Pernah Menggetarkan Hati

Almarhum ayah saya, lahir dan besar di keluarga non muslim,yang tentu saja tidak pernah mengajarkan ajaran islam pada ayah saya sejak lahir hingga remaja. Ayah yang merasa tidak akan maju jika tinggal di desanya memutuskan jadi ‘anak nderek’, ikut pada saudara jauh di kota lain di JawaTengah. Karena kebetulan paman jauh yang ditumpanginya ini beragama islam, ayah tahu sedikit- sedikit islam walau tidak mempraktekkannya. Tinggal menumpang dirumah orang lain, tentunya membuat ayah harus bekerja keras, bangun subuh menimba air, menemani buleknya ke pasar, masak dan lain-lain.

Hingga singkat cerita ayah bekerja di Markas Besar Kepolisian RI, pernah menjadi ajudan mantan KAPOLRI paling jujur dan profesional di Indonesia yang pernah ada, Jendral Hoegeng. Ayah bersahabat dengan pakde, kakak ibu saya, yang bekerja sebagai PNS di kantor. Karena sering bertemu dengan ibu, singkat cerita mereka menikah.

Ibu saya lahir dari keluarga yang islamnya cukup taat, banyak eyang-eyangnya Naib, salah satunya Naib Ratiban, sangat disegani di daerah Blora, orang yang bertanggung jawab memakmurkan mesjid dan terkenal sebagai Naib paling ganteng dengan wajah campuran Arab dan tinggi tegap.
Kalau dipikir-pikir latar belakang ibu dan ayah sangat berbeda, bagai langit dan bumi, terutama dari segi pendidikan agama.

Tahun berganti dan kami anak-anaknya lahir. Kami pernah bertetangga dengan keluarga yang sering mengadakan pengajian, tapi anehnya apa yang diajarkan di Islam tidak terlihat dalam kehidupannya, ayah pun sering mengkritik, “Islam cuma bagus teorinya, prakteknya nol! Katanya kebersihan nomor satu, mau sholat pun harus wudhu, tapi kenapa mereka buang sampah sembarangan bahkan di jalan orang lain?”

Kehidupan saat saya kecil sulit untuk digambarkan normal, ibu saya kucing-kucingan untuk mengajarkan kelima anaknya sholat dan memanggil guru ngaji ke rumah. Karena ayah saya sangat membenci orang-orang islam. Ayah saya tipe orang yang teori harus diterapkan dalam hidup sehari-hari, omongan harus bisa dipegang, bukan sekedar tulisan di awang-awang.

Sewaktu saya kuliah di Bandung, saya bertemu dengan teman-teman hijabers yang sangat baik memandu saya lebih kenal Islam, saya diajak ikut pengajian yang lokasinya berpindah-pindah di rumah teman-teman saya. Mereka tidak pernah memandang saya rendah karena keterbelakangan saya tentang Islam, begitu juga kakak-kakak di tempat kos, Titiran 7. Mereka merangkul saya.  Setiap kali saya melihat ayah-ayah teman pengajian saya, saya merasa iri dengan mereka, dalam hati menangis, harusnya ayah saya yang mengajarkan saya Islam, menuntun saya sholat.

Setelah saya bekerja, karena merasa punya uang sendiri, saya mulai pandai membantah dan beragumentasi dengan ayah saya. Sayangnya saya membantah dengan sangat tidak sopan. Tidak sabar dengan perilaku ayah saya yang tidak berubah, saya makin membenci ayah saya, bahkan di saat ayah saya lemah dan tidak berdaya saat sakit keras komplikasi stroke, jantung dan macam-macam penyakit.

Saya pernah mendiamkan ayah 2 tahun, berhenti bicara karena saya putus asa. Ibu saya sering mengingatkan saya dengan lembut, “mbok hati kamu jangan keras seperti itu, gitu-gitu itu ayah kamu. Ibu tahu kamu keras karena kamu sayang bapak kamu, tapi bukan gitu caranya, kamu harus ngalah ndok

Setelah tujuh tahun ayah saya sakit keras karena stroke dan komplikasi penyakit lainnya, ayah saya benar-benar tidak berdaya, hanya bisa tidur di tempat tidur, di hari-hari terakhirnya pernah masuk ICU sekitar 7 hari.Ibu dan kakak saya dengan sabar menunggu di sampingnya berzikir tiada henti, hingga ayah tersadar dari koma, dan bisa dipindah ke ruang biasa. Hati saya masih keras. Saat dia tidur, saya memperhatikan wajah ayah saya yang terlihat sangat tua, renta, lemah. Ayah yang dulu perkasa, biasa melatih polisi-polisi muda bermain voli, basket, terjun payung, dan sepak bola, sekarang adalah orang yang sangat tergantung pada mesin, dokter dan perawat.

Dalam hati saya menangis, Kebencian telah membuat hati saya demikian keras dan tidak adil. Ayah saya bekerja keras hingga harus terus bekerja setelah pensiun supaya anak-anaknya bisa sekolah hingga universitas. Ayah saya, meskipun saya selalu tidak akur dan membantah omongannya, terutama tentang muslim, selalu tidak pernah  bosan menunjukkan kebanggaannya atas nilai-nilai raport saya ke tamu-tamu di rumah hingga saya malu.

Ayah yang sengaja mengarang ‘kudangan’ (lagu) ke tiap anak-anaknya sesuai dengan karakter anak dan impian dia.

Saya merasa sangat durhaka. Tidak ada paksaan di dalam alquran untuk memeluk islam, dan bahkan nabi Muhammad pun tidak kuasa membolakbalikkan hati pamannya untuk masuk islam. Buat apa saya berdebat dan beragumen Islam indah, islam bagus, islam cinta damai, jika perilaku saya bahkan ke ayah kandung sendiri jauh dari apa yang saya koar-koarkan ke ayah saya? Bagaimana ayah saya bisa tertarik dengan Islam jika perilaku saya mirip orang tidak beragama?

Saya tidak tahu apakah Allah akan memasukkan ayah saya ke surga. Allah yang punya hak menghitung timbangan pahala dan dosa, manusia tidak punya kuasa menghakimi. Saya tidak tahu apakah Allah menerima tobat ayah saya sebelum malaikat mencabut nyawanya. Ayah tobat bukan karena omongan saya, bukan karena debat saya yang canggih menyebut sejarah islam, perilaku Nabi Muhammad, tapi ayah tergerak karena melihat cinta ibu saya yang tulus, yang tidak pernah berubah sikap terus merawat ayah saya dalam keadaan sakit parah sekali pun, dan terus berzikir di samping ayah saya, hingga saat detik-detik terakhir, ayah sempat berucap dengan air mata menggenang di pipinya, ibu saya tak kuasa menahan tangis, ayah saya membelai pipi ibu saya “Fat, aku sayang kamu, ini rumah kamu, jaga anak-anak ya”

Dan saya menyesal belum berbuat baik pada ayah saya.

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?