Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2010/06/22

Bab 5 - POUSSEZ LE BOUTON, SVP

 Tulisan ini hanyalan nukilan beberapa alinea dan bukan kutipan utuh dari Bab 5 (Cinderella in Paris)

Eropa bagi para imigran dari Timur Tengah, Afrika dan Eropa Timur mungkin terlihat seperti lampu Phillips yang terus terang benderang menarik laron untuk datang mengerumuni di musim hujan. Di dalam kereta yang membawa kami ke stasiun Brussel Midi, di sebelahku di dekat jendela duduk laki-laki berwajah timur tengah dengan kulit terang yang kuterka usianya sekitar 23 hingga 27 tahun. Saat ada pemeriksaan kartu identitas oleh tiga orang lelaki berseragam hijau tua, pria muda di sampingku ini mengeluarkan kartu residennya dan berusaha beramah tamah dengan memulai percakapan ke salah satu petugas dalam bahasa Belanda. Sementara aku dengan santai dan tanpa bicara satu kata pun menunjukkan paspor hijauku ke salah satu petugas.

“Mau ke Brussel?” tanyanya ramah.

Aku, yang sejak dia duduk di sampingku hingga kereta ini melintasi stasiun Rotterdam memperhatikan gayanya yang petentang-petenteng dengan mulut sibuk membuat bulatan dari permen karet, hanya mengangguk.

    “Farridi, saya dari Afghanistan”, ia tetap percaya diri memperkenalkan diri walaupun aku tidak terlalu menghiraukannya.

Aku menoleh ke arahnya sebentar dan tersenyum, “Saras”

    “Kamu dari mana” ucapnya dengan bahasa Inggris yang kurang lancar.

    “Indonesia”, aku masih menjawab dengan malas sambil membaca itinerary selama di Brussel nanti.
Faridi mengangguk-angguk, seolah-olah tahu benar tentang Indonesia.

    “Bu-ti-ful coun-trry”, jawabnya sambil mengacungkan jempol, “tetangga saya juga ada yang pernah ke Sumatra sebelum akhirnya mencari suaka ke Australia lima tahun lalu” 
Aku hanya tersenyum, malas untuk menimpali.

    “Itu teman kamu?” tanyanya sambil menunjuk Vany

    “Iya, teman seperjalanan saya dari Jakarta”

    “Di Indonesia banyak perempuan cantik seperti kalian ya?”, dia meniup permen karetnya membuat balon kecil.

“Oh ya? Kamu sendiri mau ke Brussel untuk apa?” rasa ingin tahuku mulai mencuat.

    “Bertemu pengacara imigrasi saya” dia mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan kartu nama pengacaranya, “Di Belanda saya tinggal di rumah paman Hameed. Mereka sudah sepuluh tahun menetap di Harlem”, katanya bangga.

    “Kenapa kamu meninggalkan tanah air kamu? Menurut saya walaupun kelihatannya indah, hidup di Eropa cukup berat dibandingkan hidup di negara sendiri”

    “Hm, kamu ngga lihat berita di televisi?” dia mencondongkan badannya ke arahku dan memicingkan mata bulatnya, “pernah dengar perang Taliban?”

    “Saya agak malas menonton berita perang” jawabku polos

Faridi mengangguk-anggukan kepalanya, “Saya cinta Balkh.”

“Bak?” kusibakkan telinga kiriku agar bisa menangkap kata-kata Faridi lebih jelas.


“B-a-l-k-h” Faridi mengeja kata Balkh


“Oh OK, Balkh”

“Itu nama kota tempat keluarga kami tinggal. Tetapi sejak perang antara penguasa dengan Taliban, tidak ada yang kami harapkan di sana. Hidup kami penuh ketakutan. Tidak ada kebebasan”, Faridi menoleh ke arahku dengan raut muka yang serius, “kami tidak bisa menikmati hidup seperti remaja lainnya di dunia. Setiap hari selalu mencekam. Tidak ada masa depan di sana!”
Aku terhenyak, larut dalam cerita Faridi yang menyedihkan.

    “Tapi di sini, di Brussel, cool man!” Faridi tiba-tiba menepuk lengan kiriku,  membuat satu bulatan lagi dengan permen karetnya dan mengeluarkan suara letupan kecil saat bulatan permen karetnya pecah.

..........................................

Malam hari suasana hostel semakin semarak oleh lagu-lagu ‘alternative rock’ dan ‘grunge’ di era 90an yang berdentam-dentam memenuhi ruangan lobby seluas kurang lebih enam puluh empat meter persegi. Beberapa penghuni hostel mulai berkenalan dengan backpacker lainnya secara berkelompok dan terlibat dalam obrolan menarik negara-negara yang pernah mereka singgahi. Sementara aku, Vany dan Ahmad duduk di kursi yang melingkari meja bundar kecil. Berkali-kali aku membuka kamus saku Langenscheidt’s-ku untuk bisa berkomunikasi dengan Ahmad. Vany kelihatannya mulai bosan karena hanya menjadi penonton. Dia menggoda Ahmad dengan mengikuti setiap kata dalam bahasa Perancis yang diucapkan Ahmad dengan aksen Cinta Laura-nya. Aku tertawa melihat tingkah Vany. Semakin malam tempat ini semakin ramai. Bar yang dibuka dari jam tujuh malam tadi dan tempat bermain bilyar di luar lobby semakin menghidupkan keramaian malam

Jam 11 malam Vany pamit tidur meninggalkan aku dan Ahmad. Bukan rayuan Ahmad yang membuat aku bertahan di sini. Suasana hostel benar-benar nyaman dan membawa pikiranku melayang jauh ke masa-masa terindah dalam hidupku di tahun 1994 sampai 1998, masa-masa kebebasan tanpa beban tanggung jawab manusia dewasa. Periode itu aku masih di bangku kuliah di Bandung.

Aku yang tomboy bersama teman-teman segengku yang kebanyakan laki-laki dan sahabatku Lita menikmati konser musik dari satu kampus ke kampus lain yang pada saat itu memainkan lagu-lagu bergenre kesukaanku, “alternative rock” dan grunge. Lagu-lagu yang syairnya sangat jujur menceritakan segala sisi kehidupan, bukan hanya kisah roman picisan seperti lagu-lagu pop. Untuk beberapa menit aku tercerabut dari masa kiniku. Bagaikan kilasan film dengan alur kilas balik, terlihat jelas di memori otakku, indahnya saat  berteriak-teriak dan melompat-lompat bersama teman-temanku di konser musik Alanis Morrisette di Jakarta belasan tahun silam. 
.....................................

Malam hari seperti malam sebelumnya banyak penghuni hostel berkumpul di ruang di belakang lobby. Ruangan terbuka ini saat pagi digunakan untuk sarapan, tetapi di malam hari tempat para penghuni hostel berkumpul bermain pool alias billyard sambil mendengarkan musik rock dari bar di lobby. Malam ini Shant, Dave dan Mike bermain melawan tim backpacker dari Jerman. Lima menit sebelum pertandingan dimulai, aku sudah berdiri di barisan penonton dengan sebotol coca cola dingin. Penonton tampak riuh menepuki tim andalan mereka. Aku dan vany ikut heboh mendukung Shant dan rekan-rekannya.

Di tengah-tengah permainan Dave datang mendekatiku.

“Pff, Maaf Raz, aku ngga bisa bareng kalian ke Paris, ngga enak sama Rob dan Chen”

    “Rob dan Chen?” aku mengernyitkan dahi, “siapa?”

Dave menunjuk ke arah lelaki punk di ujung kanan yang sedang memeluk pacar Asianya dari belakang.

“Oh, cowok punk dan pacar Chinanya?”


“Vietnam” koreksi Dave

    “Oh OK, Vietnam. No problem Dave. Jadi mereka juga mau ke Paris?”

Dave menenggak botol kecil birnya, “Yup” tanpa mengalihkan pandangan dari meja billyard. Mike baru saja berhasil memasukkan bola hitam. Sejenak ruangan ini ramai oleh sorak sorai para backpacker Amerika yang tinggal di hostel ini. Nasionalisme memang paling mudah ditunjukkan pada acara-acara olahraga.   
......................


“Pour Ouvrir la porte, poussez le bouton noir svp”

Aku dan Vany bersorak-sorai, “Ada gunanya juga Ras belajar bahasa Perancis 2 tahun”

Kedua pintu bergeser setelah kutekan tombol hitam di sebelah kiri pintu. Kami kemudian menunggu di lounge Thalys sambil membaca komik.

            “Ras, lihat! Tim-nya Dave baru datang”

            “Ealah Van, baru sampai mereka? Duluan kita ya, hihihi.”  Aku terkekeh-kekeh.

Kulihat Dave dan pasangan punk celingukan di depan pintu lounge. Mungkin mereka menunggu ada yang keluar dari dalam atau calon penumpang masuk membuka pintu tersebut, seperti yang kami lakukan tadi sebelum melihat instruksi dalam bahasa Perancis. Namun kami yang di dalam sini terlalu sibuk dengan bacaan kami. Pemandangan yang lazim di sini orang lebih senang menunggu dengan membaca buku atau majalah daripada mengobrol. Vany menyembunyikan kepalanya dibalik majalah Kosmopolitan dan tertawa geli, majalah itu ikut bergerak naik turun.

“Kasian ya Ras, orang Amerika ngga bisa buka pintu”

Aku menoleh lagi ke arah mereka, tak tahan melihat kebodohan yang tersirat di wajah bule mereka yang menerka-nerka bagaimana pintu tersebut bisa terbuka. Aku berjalan ke arah pintu, menekan tombol dan dengan muka yang bijaksana dan dipintar-pintarkan, menyapa mereka.

“Hi guys, baru sampai? Kalian ngga ngerti instruksi Bahasa Perancis dan Belanda yang tertulis di pintu ya?”

            “Hehehe. Thanks Saras” Dave tersenyum dan masuk ke dalam lounge.

Chen, si perempuan pacar laki-laki punk itu tampak kesal dan malu. Selama di hostel dia sepertinya memandang rendah aku karena berasal dari negara berkembang di selatan equator yang tidak semua orang mengenal namanya saat kusebut. Dia bahkan tidak mau berbicara dengan backpacker Asia di hostel ini.  Aku pernah menyapa ketika bertemu dengan dia di tangga hostel, tetapi dia malah melengos.
Puas rasanya sudah memberi pelajaran ke sesama orang Asia yang merasa statusnya lebih tinggi hanya karena dia tinggal di kota besar di Amerika Serikat. Walaupun aku berasal dari negara berkembang dan sebagian besar orang di hostel tidak terlalu tahu dan tidak peduli dimana letak negaraku kecuali aku sebut nama Bali, hari ini aku bangga, sebagai bangsa Indonesia aku bisa bahasa asing lain selain Inggris sehingga memudahkan perjalananku di Eropa dan yang membanggakan, aku bisa membantu mereka, para backpacker dari negara adi daya Amerika Serikat.

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?