Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2010/06/20

Bab 4 - TAWAF DI JALAN NZ VOORBURGWAL

Tulisan ini hanyalan nukilan beberapa alinea dan bukan kutipan utuh dari Bab 4 (Novel Cinderella in Paris)
Dingin, lapar, basah kuyub, bingung dan lelah, Itulah enam kata yang sangat tepat mendiskripsikan keadaanku saat ini. Seorang gadis mungil Asia berdiri sendiri di tengah gerimis kota Amsterdam di akhir musim semi dengan suhu sekitar delapan derajat celcius tanpa payung. Aku menanti Vany di depan sebuah toko, di seberang lapangan persegi panjang luas beralas batu yang disekelilingnya berdiri bangunan kuno yang kokoh.

Kutaruh tas koper hitam besar di sebelah kiriku, sementara punggungku memanggul tas ransel merah. Koper seberat dua puluh delapan kilogram itu setengahnya berisi bumbu masakan, kecap, sambal botol dan oleh-oleh untuk kakakku dan keluarganya. Saat ini temanku Vany sedang berusaha mencari Hostel Bob di Jalan NZ Voorburgwal. Suara lonceng berdentang beberapa kali dari salah satu gedung yang mengitari alun-alun di depanku.
“Ah seandainya payung kotak-kotak biruku tidak tertinggal”, sesalku.

Padahal buku Lonely Planet Eropa sudah mengingatkan, jangan pernah melupakan payung atau pun jas hujan saat mengunjungi Amsterdam. Saat seperti ini memang paling enak berandai-andai. Andai payungku tidak tertinggal, tadi pasti aku tidak melewati Gedung “Amsterdam Tourism and Convention Board”, disingkat VVV yang berada tepat di depan stasiun kereta Amsterdam Centraal.

Seandainya aku mampir ke VVV, tentu mudah bagiku dan Vany menemukan Youth Hostel Bob. Menurut Lonely Planet penginapan itu hanya berjarak sepuluh menit dengan berjalan kaki dari Amsterdam Centraal. Tetapi sudah bolak balik kami mengitari jalan yang sama dan bertanya ke orang sekitar, kami masih belum menemukan hostel yang terkenal di kalangan backpacker internasional itu.

Seandainya aku berhasil menemukan Hostel Bob, tentu aku tidak perlu harus menggigil kedinginan di salah satu sudut alun-alun dengan tampang memelas mirip kucing kecebur kolam. Seandainya sewaktu di Indonesia aku tidak asal memesan hostel.

Tadi pagi saat aku bertanya ke orang yang aku temui di Schipol, ternyata hostel yang aku pesan online dari Jakarta beberapa hari sebelum kami berangkat ke Amsterdam tersebut letaknya agak jauh dari pusat kota dan kurang aman untuk kami dua perempuan mungil. Salah satu bapak yang aku tanyakan malah menyarankan aku mencari penginapan di sekitar Jalan NZ Voorburgwal karena dekat ke macam-macam obyek wisata.

Andai teman satu Sekolah Dasarku Trevy yang satu bulan lalu menawarkan bantuan untuk menjemputku di Airport tidak MIA-missing in action di menit terakhir tanpa pemberitahuan, pasti aku sudah merebahkan tubuh lelahku setelah lima belas jam perjalanan dari Cengkareng ke Amsterdam. Untunglah aku tidak perlu berlama-lama berandai-andai, dari kejauhan aku sudah melihat Vany.

“Ketemu Van?" tanyaku dengan suara parau

            "Ngga, tapi gue nemu kafe yang jual macam-macam cake"

Kami berjalan lagi ke sisi lain alun-alun ini dan kemudian untuk kesekian kali menapaki kembali jalan NZ Voorburgwal. Vany memang tidak menemukan Hostel Bob, tetapi berhasil menemukan satu kedai pie yang terkenal di salah satu pojok Jalan NZ Voorburgwal, tak jauh dari Magna Plaza.


Aku langsung mundur dan menemui Vany yang menungguku di luar. Ketakutan sempat melintas di benakku. Aku membayangkan head line mengenaskan di surat kabar yang tidak pernah kubayangkan saat merencanakan perjalanan ini : “Dua perempuan mungil Indonesia gelandangan di negeri kincir angin.” Aku segera menghapus bayangan mengerikan dari otakku. Segera kubolak-balik Lonely Planetku, mencari hostel lain di sekitar sini. Bingo! Aivengo hostel, terletak satu blok di belakang Bob, di Spuistraat Nomor 6.

“Yuk Van kita ke Aivengo!”

Dengan semangat hasil pembakaran kalori pie apel, aku menarik koperku dan menggamit tangan Vany. Di sekitarku turis-turis muda bersliweran. Sebagian besar memanggul bodypack seukuran tubuh mereka tetapi ada juga yang menyeret koper kecil dan ransel. Pemandangan seperti itu di musim semi dan musim panas sepertinya sudah lazim di kota Amsterdam yang menjadi kota tujuan wisata terkenal bagi traveller dari seluruh dunia.

Hostel Aivengo berada 5 menit dengan berjalan kaki dari Hostel Bob. Bangunan dan interiornya berwarna ungu tua yang bernuansa hangat dan modern dan terkesan lebih terawat daripada Hostel yang pertama kami lihat tadi. Tidak ada kerumunan anak-anak muda di lobby kecilnya. Pengelolanya pria muda berwajah mirip orang Italia yang selain tampan ternyata cukup ramah melayani kami. Sayangnya keberuntungan belum menghinggapi kami. Ternyata semua barak sudah penuh. Semua tempat tidur sudah habis dipesan calon penghuni hingga esok siang.

Aku segera menarik tangan Vany yang masih terpaku di depan meja, masih  memandangi sang resepsionis berwajah latin yang bermata coklat itu. Aku berjalan kembali ke arah saat kami datang. Di pojokan Jalan  Spuistraat dan NZ Voorburgwal, terdapat satu hotel yang tidak terlalu besar. Aku memberanikan diri untuk masuk. Dilihat dari bentuknya yang imut, aku berharap harga kamar di hotel ini tidak terlalu mahal.


"Hi, Morning"

Aku melempar senyum ke lelaki penerima tamu yang berambut brindil mirip Josh Groban di ujung ruangan ini. Lelaki itu melirikku dan berhenti bicara dengan rekannya.

            “Morning”

Wajahnya tidak seramah pria muda di Aivengo Youth Hostel dan sepertinya tidak mengharapkan tamu seperti kami --dua turis muda dari Asia yang cukup lusuh karena terkena gerimis hujan dan sejak mendarat di Schipol hingga dua jam yang lalu  belum membasuh muka letih dan dekil kami-- masuk ke dalam hotelnya. Orang-orang seperti kami ini turis muda biasanya hanya mampu beristirahat di youth hostel yang biaya menginap seharinya paling mahal 25 euro.

Entah karena lelah dan jet lag, maka kalimat yang kemudian meluncur dari mulutku adalah, “Hi, may I know the price of this hotel?” dengan wajah cukup meyakinkan.

“What? Do you have money girl?

Si lelaki brindil menjawab ketus dengan muka masam bagai perempuan yang tidak ikhlas menerima penderitaan menstruasi hari pertama. Lelaki di sebelahnya tertawa sambil memandangiku takjub.

            “Dua juta euro!” katanya setengah membentakku

            Terkejut dengan angka yang disebut Pak Brindil, dengan polosnya aku menyahut.

"Wow” secepat kilat aku berjalan ke pintu keluar, menyadari tidak punya uang sebanyak itu dan  mengurungkan niat terlibat pembicaraan lebih lama dengan Pak Brindil yang kelihatan sewot.
Sampai di luar Vany tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya yang tinggi meringkik memenuhi pojok jalan Spuitsraat ini.



.............................................
Beberapa menit kemudian kami melewati laki-laki berbadan besar, tinggi dan tegap bak algojo berkaos hitam dan laki-laki klimis mengenakan jas dan tuxedo yang rapi berjajar di depan tempat clubbing atau toko penyedia alat-alat penunjang seks. Aku masih tenang, membayangkan sedang berada di Plaza Semanggi. Tetapi terapi tenangku itu terganggu oleh suara raungan sirene mobil polisi dari arah belakang kami. Aku menoleh ke arah satu mobil patroli berwarna putih yang berhenti 200 meter di depan kami.

            “That’s normal?” tanyaku pada Remo

            “What? Sirene? Saya tidak tahu, mungkin ada sesuatu di depan.”

            “Wow, it’s cool Remo! Seumur hidup saya hanya melihat kejadian ini di film Law and Order”

Yeah, this is Redlight district Saras, sometime shit happen. Mungkin junkies yang mati karena overdosis”
Kami berbelok ke arah kiri, memasuki gang sempit yang ternyata di kiri kanannya terdapat ruangan yang mirip akuarium besar. Ruangan kaca bersekat-sekat itu masing-masing etalase dihuni beberapa wanita muda penjaja cinta dari segala ras yang mengenakan bikini super sexy dan super minim yang hanya berhasil menutupi beberapa sentimeter tubuh mereka. Miris melihat perempuan –perempuan muda yang aku yakin usianya jauh lebih muda dibandingkan aku, dipertontonkan seperti itu.

Persis seperti berada di toko hewan, pengunjung cukup menunjuk gadis yang disukai yang akan memenuhi hasrat duniawi mereka. Aku tak menyadari Vany dan aku adalah pengunjung minoritas di sini, perempuan dan orang Asia. Setiap kali berpapasan dengan pengunjung yang kebanyakan pria dan turis-turis remaja yang ingin memenuhi rasa ingin tahunya, aku melihat mata mereka yang kaget melihat wajah innocent Asia kami berkeliaran di tempat seperti ini.



Keluar dari gang sempit tadi kami melangkah ke jalan yang lebih besar yang di sisi kanan dan kirinya terdapat toko-toko souvenir yang menjual cinderamata khas Belanda dan Kota Amsterdam. Toko-toko itu memajang tas, T-shirt, banner, topi, gantungan kunci hingga paket cannabis seberat dua gram. Aku tidak tahu apakah hari itu aku sedang sangat bongah karena pengalaman yang baru saja aku alami atau mungkin karena pengaruh uap ganja dari beberapa pemakai di Coffee Shop yang menawarkan menu menghisap uap ganja bersama-sama.

Sepanjang jalan ini aku dan Vany dengan mudahnya tertawa terpingkal-pingkal setiap Remo menceritakan kejadian yang sebenarnya tidak terlalu lucu. Otot perutku keras karena telalu sering tertawa. Kami baru bisa menenangkan diri saat kembali di depan gereja di salah satu sisi Damsquare.
“Remo, terima kasih sudah menjadi pemandu wisata kami”  ucapku.

            “Don’t mention it. It’s a  pleasure for me, Saras.”

Remo sepertinya masih ingin menghabiskan waktu bersama kami, tidak ada gelagat dia akan berkata memisahkan diri dari kami.

            “Nice to meet you Remo” Vany berusaha mengusir lelaki Mesir tambun ini.     
Remo menunjukkan mimik kecewa.

“The night’s still young. Masih jam tujuh dan langit masih terang benderang”

“Now it’s girl’s time. Kami akan window shopping ke Magna Plaza” aku berusaha mencari-cari alasan supaya dia mau meninggalkan kami.

“Yakin tidak mau ikut saya clubbing?”

            “Hm, sayangnya kami masih jet lag dan letih. Besok pagi kami akan ke Keukenhof, jadi harus tidur cepat, Remo.”

“OK. Bisa minta nomor telephone kalian?”

Aku meminta Vany memberikan nomor ponselnya. Remo mencatat nomor Vany.

    “Thanks. Dimana kalian menginap?”

            “Aivengo” aku menjawab secepat kilat. Kebohonganku kedua, entah mengapa instingku mengatakan aku harus berbohong.
Akhirnya kami meninggalkan Remo. Setelah berjalan sekitar sepuluh langkah aku pura-pura membenarkan tali sepatu sneaker converse biruku, sambil ujung mata melihat ke arah tadi Remo berdiri.

            "Gila! Remo masih berdiri di situ Van", bisikku

Kami melanjuti langkah kami tepat di jalan di seberang Plaza Magna, kali ini Vany yang kusuruh pura-pura membenarkan tas ranselnya.
“Masih di sana ngga Van", tanyaku tanpa menoleh ke belakang.
            "Sepertinya masih Ras"

Terpaksa aku dan Vany tidak langsung pulang ke hotel Avenue, tetapi mampir sebentar ke Magna Plaza yang ada di depan kami, khawatir jika Remo masih mengawasi kami dari kejauhan dan akan membuntuti kami.
Dalam hati aku berpikir. Clubbing? Di negeri sendiri saja aku tidak pernah ajep-ajep, apalagi di sini, di negara orang lain yang letaknya jauh dari Indonesia, di Amsterdam pula, pusat prostitusi. Seingatku aku pernah membaca di suatu majalah, bagaimana woman trafficking terjadi di Eropa.

Berbeda dengan modus trafficking di Indonesia, di mana pada daerah pantai tertentu orang tua menjual anak gadisnya ke germo atau para germo memangsa gadis-gadis muda di desa dengan dalih akan bekerja di restoran di kota-kota besar, di Eropa banyak dari komplotan mafia prostitusi mendapatkan gadis-gadis ranum, dengan pura-pura mengajak turis remaja putri clubbing, menaruh obat bius dan selanjutnya si turis remaja itu terbangun di dalam kamar hotel bersama pria yang tidak dikenal. Aku sangat berhati-hati menghadapi Remo, karena sewaktu kami jalan –jalan tadi, kuperhatikan hampir semua laki-laki di kawasan Redlight mengenal dia dengan akrab. “Mungkin saja dia preman atau germo di sini” dugaku.

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?