Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2011/07/02

Frenemy - Serigala Bergincu-Bagian ke6

Syukurlah usahaku menghindar dari Vany berhasil, setidaknya sampai pukul 20.00. Stefano sudah pamit satu jam yang lalu, dan kini aku bersama Rafael dan dua teman Perancisnya, Christophe dan Jean-Luc bercengkerama di ruang rekreasi. Aku duduk di sofa tengah bersama Rafael, lelaki Portugis yang bekerja sebagai Masseur, tukang pijat, yang dengan senang hati menawarkan diri untuk melemaskan otot-otot kedua telapak tanganku. Christophe dan Jean-Luc duduk di sofa sebelah kiri membahas tentang wawancara kerja pertama mereka di Bank Luxembourg. Sofa kanan diduduki perempuan muda Inggris yang fasih bercakap-cakap dalam bahasa Perancis yang sedang membaca majalah disamping teman barunya, lelaki asal Denmark. Kami sedang menunggu pertandingan sepak bola piala dunia 2006 antara Perancis dan Korea, siaran langsung dari Jerman.


Takeshi duduk lima meter dariku, di sofa belakang di dekat dua komputer berakses internet. Ia dikelilingi perempuan-perempuan penghuni hostel ini. Tidak ada Vany di sana. Rupanya wajah campuran Asia-bule Tak telah menjadi magnet baginya menarik perempuan-perempuan bule di sini. Sampai pertandingan selesai, yang dimenangkan Perancis ke babak perempat final, dia tetap duduk di sana tidak bergabung dengan kami. Entahlah, mungkin Takeshi takut mendekatiku, atau karena orang Australia jauh lebih suka kriket daripada sepakbola? Aku sendiri sudah ill-feel melihat dia dan Vany.

Setelah pertandingan usai, Vany yang tadi kulihat duduk di kursi minimalis di depan receptionist, bangun dan memberhentikanku begitu aku melintas di depannya.

“Ras, semalam kemana?”

Aku diam terus memandang lurus ke arah lift.

“Ras, kok lu diam aja sih sejak di kereta? Emang gue salah?”

Aku berhenti. Ya Tuhan, dia tidak tahu apa jika dia salah? Menghentikan percakapan orang tanpa basa-basi menurut dia apa?

“Menurut lu?” aku meneruskan langkah ke lift tanpa menoleh ke arahnya, mirip selebritis yang tidak mau memberikan komentar saat dikejar-kejar wartawan.

“Gue salah apa sih? Ehm, sepertinya gue mau perpanjang satu malam lagi. Takeshi mau tinggal di sini sampai lusa. Boleh kan?”

Aku terdiam, bukankah rencana semula dia akan kembali ke Amsterdam besok, untuk bertemu dengan Hraf sebelum pulang ke Jakarta?

“Van, gue bukan nyokablu, terserah. Gue perhatiin selama ini apalagi selama di Eropa, lu selalu mau jadi pusat perhatian, gangguin cowok-cowok yang pendekatan ke gue. Puncaknya yang menurut gue ngga sopan banget, di kereta kemarin tiba-tiba lu pindah ke sebelah Tak, di saat gue dan Tak terlibat pembicaraan, tanpa bilang ‘excuse me’ atau basa-basi lain. Lu liat cowok di sebelah gue tadi, Stefano, dia bilang, di dunia pergaulan internasional, tindakan lu tuh sama sekali ngga sopan! Anyway kalau emang lu suka sama Tak, ambil! Mungkin buat lu ngejar cowok jauh lebih penting daripada persahabatan kita!”

Kalimat pamungkas dariku menjadi akhir komunikasi aku dan mantan sahabatku. Begitulah cerita pertemanan selama enam bulan ini yang dimulai di Jakarta berakhir di Luxembourg. Ternyata waktu enam bulan belum cukup untuk mengenal watak orang dengan baik. Kita baru dapat menyebut seseorang sebagai sahabat, setelah teruji dengan waktu. Sahabat seharusnya membantu di saat temannya mengalami kesulitan atau masalah, mendukung impian temannya dan ikut bahagia saat teman bahagia dan berhasil, bukannya malah iri, apalagi menjegal kesempatan sahabatnya untuk menggapai mimpinya.


*Sari Musdar-Cinderella in Paris*

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?