Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2011/07/02

Frenemy -Serigala Bergincu - Bagian Ke5

Suara ketukan di pintu membangunkan aku yang sejak satu jam tadi sudah terbangun. Kejadian sore di kereta Trier-Luxembourg seolah mimpi buruk yang membuat aku tidak dapat tidur nyenyak.


“Siapa?”

“Stefano. Aku boleh masuk?”

“Jangan Stef, mukaku berantakan” aku panik menyadari wajahku pasti masih sembab karena menangis semalaman tanpa suara di kamar ini.

“Bukannya selalu begitu? hehehe” Stefano tertawa pelan.

“Sialan! Dulu kamu bilang aku cantik!” aku membalas dengan candaan.

“All right! Satu jam lagi kita akan ke Ardennes”, Stefano berbisik di balik pintu kamar.

Aku segera beranjak dari tempat tidur untuk membersihkan muka. Lihatlah wajah yang saat pertama kali memulai perjalanan ke Eropa ini demikian sumringah, pagi ini kelihatan kuyu dan memelas karena sedih dikhianati mantan sahabat. Aku sengaja mengingat kejadian-kejadian yang menyenangkan untuk menghapus jejak kesedihan dalam setiap otot wajahku.



Satu jam kemudian setelah sarapan aku berpamitan dengan Ibu Stefano dan Cloudine. Mobil kemudian menyusuri desa Grund tempat keluarga Stefano tinggal. Grund merupakan desa tua dengan bangunan kuno rumah-rumah kecil yang berdekatan yang sudah ada di sana sejak ratusan tahun silam. Di Ardennes kami melihat kastil peninggalan abad XII di kawasan Bourscheild dan Clervaux, dua kastil yang ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia, sama halnya dengan rumah-rumah dan bangunan di Grund.

Di belakang kedua kastil, terdapat kastil berwarna putih dan beratap abu-abu dengan bangunan yang lebih besar dan indah menjulang di atas bukit. Istana megah beratap abu-abu itu bernama Kastil Benedictine Abbey yang dibangun di awal abad XIX. Sungguh tempat yang sesuai untuk bersembunyi dari hiruk pikuk kota, sejenak terseret ke lorong waktu beberapa abad kebelakang. Pantaslah jika seorang penulis besar Perancis, Victor Hugo mengomentari Ardennes dengan ungkapan berikut, “apa yang kalian lihat di sini sangat menakjubkan”.

Stefano tertawa geli melihat ketenangan wajah yang terpancar dariku, mirip wajah Biksu yang sudah bertapa dan puasa berbulan-bulan.

“Cut it off, ngga usah senyum gitu deh please! Sebulan tinggal di sini kamu pasti bosan dan sudah mau kabur ke Jakarta lagi, cari mall dan tempat-tempat keriaan hahaha”

“Oh yeah? Makanya kamu ngga tahan dan kabur ke Shanghai ya”

“Jadi mau kemana sekarang? Kamu sudah siap balik ke Auberge atau mau tinggal di rumah saya?”

“Penginapan, ngga enak tinggal lama di rumah kamu. Besok pagi aku sudah harus kembali ke Paris, Stef”

***

Sejak makan siang di alun-alun Luxembourg City hingga perjalanan ke Auberge, tidak ada satu kata pun terucap dari mulutku dan Stefano. Aku bertemu dengan dia dan keluarganya di sini, melihat dengan mata kepala tempat ia dibesarkan, justru setelah hubungan kami berakhir. Sudah tidak ada sisa-sisa perasaan cinta. Aku yakin, begitu juga dengan Stefano, kami tahu sebagai pasangan kami tidak cocok satu dengan yang lain, bagai tokoh kartun Tom dan Jerry. Jika ada perlombaan keras kepala, aku yakin, aku akan berdiri di tempat kedua dan Stefano yang jadi juaranya. Dia juga pernah bicara tidak akan menikah, setidaknya sampai menginjak usia 40 tahun. Jadi buat apa aku berharap?

Setelah memarkir mobilnya di halaman hostel, Stefano menjajari langkahku sampai ke teras. Di pelataran ternyata sedang ada barbeque dan pertunjukkan tarian dari Bavaria. Penari perempuan mengenakan kemeja putih tradisional dari katun dan lapisan luar rok terusan tradisional Bavaria berwarna merah tua. Sedangkan penari pria mengenakan kemeja tradisional putih, rompi khas Bavaria dan celana panjang warna hitam. Penonton ikut bertepuk tangan mengikuti rancak tarian.

“Lucky you!” Stefano memandangi aku yang bagai anak kecil kegirangan memotret semua gerakan sepasang penari di depanku.

Di seberang arah jam tiga, aku lihat Vany bersama Tak dan satu gadis asal Inggris yang sekamar dengan kami.

“Itu pengkhianatku, Stef, yang berkaos polo biru muda, dengan bandana biru” aku jinjit dan berbisik di telinga kiri Stefano.

“Gadis chubby berwajah kelinci itu?”

*sari Musdar-Cinderella in Paris*

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?