Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2013/05/16

Menggadai Nyawa (2)


Tulisan ini diambil dari http://amolethenovel.blogspot.com/
Tulisan ini saya kutip sebagai rasa duka atas teman-teman saya di Underground Mining Freeport (Big Gossan) yang saat ini mengalami longsor


Kemarin pastilah hujan, orang bodoh pun tahu. Jalan di sekitar Mille Point 72 berwarna coklat krem seperti brem, oleh-oleh dari Madiun. Jalan berkerikil ini diselimuti lumpur. 

Untunglah aku memakai sepatu safety boot sebetis, sehingga tidak perlu jalan berjingkat menghindari bercak-bercak lumpur coklat mengotori bagian bawah celana jeansku. Bisa-bisa aku diejek kolega pria karena bergaya kemayu di daerah sekeras Amolepura. 

Semalam aku menerima sms dari Kak Josua.  Ada salah 1 kolega expat yang hilang. Berita terakhir diketahui dia pulang ke apartemen sekitar jam empat sore melewati MP 73, tepat di saat Memo Perusahaan menyatakan telah terjadi longsor cukup besar, terlihat dengan adanya batu sebesar rumah tipe 70 menghadang di tengah jalan. Kak Josua minta supaya berita ini diperlakukan sebagai "high confidential". Beberapa hari ini memang sering terjadi longsor di mille point 73, satu-satunya jalan menuju tempat kerja ke grasberg & divisi underground. 

Air berubah wajah mengikuti ukuran dan dayanya. Itulah yang terjadi di sini. Air yang menyusup dari gunung-gunung batu keluar dalam bentuk air terjun. Saat aliran airnya kecil, dia tampak menyegarkan, menjadi pemanis gunung-gunung besar di sekitar Amolepura. Tetapi saat aliran air besar dan deras, dia bisa membuat batu besar turun menggelinding ke tengah jalan. Sudah dua tahun aku di sini, tapi tidak pernah berhasil menghitung jumlah gunung yang mengepung Amolepura, apalagi jumlah air terjunnya 

Di dalam bis orange tadi saat melihat linimasa detik.com, aku mbaca link berita "Seorang expat Kanada Davis Wayne hilang di tengah longsor". 

Kantor masih merahasiakan nama kolega kami yang hilang akibat longsor di MP 73, dan berita di detik memaksaku menjadi detektif dadakan. Tiba-tiba aku merasa seperti Tintin. 

Suasana di dalam bis oranye ini makin muram, semuram cuaca di Amolepura yang dipenuhi kabut. Kami mulai membiasakan diri membaca obituari. 

Berita tembakan terdengar seperti berita orang berlatih menembak burung, hanya saja di sini korbannya manusia. Kami bagai zombi di dlm bis ini. 

Aku menahan setengah mati utk tidak membagi cerita ini pada ibuku di Jakarta. Suatu waktu saat aku bermain dgn teman-teman suku Amungme di Banti Waa. Ibuku menelpon saat aku ada di markas Kodim Mimika. Di Banti Waa sinyal menghilang begitu saja. "Ndok, kamu aman2 aja di sana?" "Raisa lagi di desa Banti Waa Bu, ngga ada sinyal di sana" "Wah hati-hati! Jangan main ke desa, nanti kena tembak! Lihat di TV TwentyOne!" 

Aku menghela nafas panjang, sejak ibu menjadi penonton setia TV berita "TwentyOne", ibu menjadi orang yang mudah was-was, apalagi tentang Papua 

"Polisi aja kena tembak, apalagi kamu! Hati-hati ya ndok, jangan blusukan ke hutan!" 

"Bu, Jayawijaya itu jauh dari Amolepura, ibu tenang ya!" Setengah mati aku berusaha menenangkan ibu. Mungkin aku sudah seperti warga Amolepura lainnya, sudah biasa mendengar berita penembakan / obituari karena kecelakaan di MP 71, lumpur longsor setelah blasting di Underground, penembakan dan lain-lain. 

Beberapa waktu lalu sepulang dari air terjun di MP 68, aku dan teman-teman menumpang Ford bagian keamanan. Pak Jiwo, petugas keamanan yang mobilnya kami tumpangi bercerita tentang 2 bosnya. Dua orang bos Pak Jiwo mati mengenaskan, ditembak di dalam mobil Ford berkecepatan 15 km/ jam di Jalan Tambang dan dibakar. 

Pak Jiwo gagal menyembunyikan airmatanya. Aku yang duduk di depan, di samping kirinya bisa merasakan kegetiran, ketakutan yang menyayat hati dari suaranya yang bergetar. Ketakutan telah membuat seorang petugas keamanan melupakan statusnya. 
Uang tdk bisa membeli rasa aman, saat teror yang tak bisa dibendung bisa datang kapan saja di tanah kaya emas ini. 

Kami bagai anjing yang tak pernah lelah menggonggong tapi tak pernah didengar! Surat petisi sudah ditandatangan warga Amolepura untuk diajukan ke presiden di Jakarta. 

"Sa, sdh sampai!" Temanku Dewo menggamit lenganku.Aku mengekor orang-orang yang keluar dari bis ini di ridge camp. Ratusan orang bergerombol di luar. Jalanan menuju lokasi kerja mereka terputus karena longsor tadi malam. Aku menutup rapat jaketku, mungkin salju turun di Grasberg, pagi ini terasa lebih dingin. 

"Ade nona!" 
"Syahrini!" 
"Susu!" 

Teriakan-teriakan usil dari para pekerja tambang itu tak kuhiraukan lagi. 

Aku sedang memecahkan teka teki penting. 

"Davis Wayne siapakah dia? Di kantor ada banyak expat Kanada bernama Wayne!" 

Aku berpikir keras dan menikmati menjadi Tintin pagi ini. Langsung kubuka data karyawan sambil melahap sandwich yang kuambil dari Messhall Flamboyan semalam. 

"Davis Wayne" desisku, jangan-jangan wartawan Detik salah sumber atau salah mengutip nama.

Sudah beberapa kali wartawan salah menulis berita tentang amolepura, seperto TV berita Twentyone yg melaporkan mogok kerja di Amolepura padahal mereka tidak ada di sini. Sulit bagi orang luar bisa memasuki wilayah tambang Amolepura tanpa ijin khusus dari Perusahaan. 

TV Twentyone menyebutkan kericuhan di Terowongan Hanekam, padahal gambar yang diambil dari gorong-gorong di Timika sekitar Km 38. 

"Uhm, tidak ada karyawan di Amolepura yang bernama Davis Wayne, jadi pasti Detik salah menyebut nama!" 

Mataku spontan menyipit saat menganalisa kasus ini, "Bingo! Pasti ini!" segera berjalan cepat ke ruang Industrial relation. Ruangan itu mirip kantor polisi yang diliputi ketegangan. 

"Kak Jos, ko sibuk kah?" Aku melihat mata merah Pak Josua menatap komputer dengan nanar. 

"Ah ko tahu ade nona, su baca berita di memo?"

"Iyo kak Jos, coba lihat ini" Kusodorkan telepon selulernya "ada di berita detik, aku tahu siapa korban longsor"

"Keep it as top secret ya Raisa, kecuali kalau top manajemen sudah membolehkan menyebut nama korban ini disiarkan di Memo!" 

Aku mengangguk dan segera kembali ke ruangannya. Jika benar korban itu "dia", sungguh aku sangat merasa sedih. Beberapa hari belakangan "dia" sangat baik. "Dia" adalah kepala bagian electrical yang sangat tegas dan disiplin. Beberapa orang menilainya galak dan arogan. Mungkin karena itu kami kaget. Tiga hari ini "dia" sangat berubah, menjadi ramah dan menyapa bawahanku/ org-orang yang dibawah level dia. Dia meluangkan waktu untuk menyapa kami dan berbincang. 

"Mengapa Tuhan harus memanggil orang yang mulai berubah menjadi baik?"batinku. "Oh tidak, mengapa aku sudah mendahului takdir! Mungkin dia masih hidup di jurang sana"

Suara telpon seluler memecah keheningan. Sekilas aku lihat Olivier, bos kami berjalan kuyu menekuri lantai selasar kantor. Sms dari Finn. 

"Hi, I can't meet you tomorrow,must investigate this accident" Finn memang ikut dalam tim investigasi kecelakaan longsor yang sangat parah di MP 73. Ini benar-benar Black Friday buat kami. Longsor sudah sering terjadi di MP 73 selama 2 bulan ini, tapi baru kali ini menelan korban manusia. Pernah ada 2 orang karyawan yang meninggal karena longsor, tapi bukan di MP 73. 

Longsor memang membuat kolega di MP74 dan Grasberg tidak bisa bekerja. Mereka hanya bergerombol di ridge camp, menunggu perintah kerja. Gerombolan yang cukup stres hingga tidak bisa mengontrol urat-urat laki mereka yang tegang. Setiap ada kolega wanita lewat, yang memang langka di sini. "Ade nonaaa!!!" "Maniss!!" Siulan bersahut-sahutanan, masih terdengar sopan, tapi saat mereka berteriak "SUSU!" Aku tidak bisa menahan kekesalan. 

Sulit untuk mengeluarkan ekspresi yang tepat di depan mereka. Di dunia normal aku akan memaki laki-laki yang berteriak seperti itu ke arahku. Tapi aku ingin berusaha mengerti kenapa mereka menjadi liar. Pakaianku tidak seperti Jupe, dia mengenakan kaos tertutup jaket, celana jeans yang tidak ketat, sepatu safety boot sebetis dan rambut tertutup helm putih. 

Stress berkepanjangan dan lama tidak bertemu istri, telah membuat kejantanan mereka mencuat ke tenggorokan tanpa malu saat melihat perempuan yang sedikit manis seperti aku lewat dihadapan mereka. Pura-pura tidak mendengarkan teriakan gerombolan laki-laki haus perempuan itu sambil pura-pura menikmati musik dari earphone keputusan cerdas

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?