Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2011/07/02

Frenemy - Serigala bergincu -Bagian ke3

Pagi ini aku ingin melancong ke kota Trier. Menurut Stefano tujuan wisata terdekat dengan perbatasan Luxembourg ini, adalah kota tertua di Jerman yang sudah ada puluhan tahun sebelum nabi Isa lahir. Trier terletak di bagian barat daya Jerman dan bertetangga dekat dengan Luxembourg dan Belgia. Perjalanan 45 menit dengan kereta Luxembourg-Trier, serasa perjalanan dalam mesin waktu yang berhasil menembus lorong waktu sepanjang ribuan tahun dan melemparkanku ke masa kejayaan Kekaisaran Romawi. Bangsa Romawi masih meninggalkan gedung-gedung berukuran raksasa dengan arsitektur bergaya Gothic dan Baroque.


Bangunan-bangunan kuno yang berdiri sejak jaman Romawi kuno masih terawat rapi di sini. Situs-situs tersebut membuat kota kecil yang penduduknya berkomunikasi dengan tiga bahasa ini menjadi seperti museum hidup yang tidak tergerus gulungan waktu yag menerjangnya belasan abad kemudian. terus abadi hingga jaman modern. Aku menduga, saat Trebeta menemukan kota ini pertama kali dua ribu tahun silam, Raja bangsa Assyria itu langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Trier bagaikan gadis putih cantik berpipi segar montok seperti lukisan-lukisan abad pertengahan. Lembah subur ini memanjakan penduduknya dengan kekayaan hutan, kebun anggur dan aliran sungai Moselle.

Karena kecantikannya itu, untuk melindungi Trier, bangsa Romawi membangun gapura raksasa empat tingkat berwarna gelap kusam bergaya Gothic yang dinamai Porta Nigra (Gapura Hitam). Pagar ini masih tampak gagah menantang jaman selama ratusan tahun. Nasibnya agak jauh lebih baik dari Taman Sari di Yogyakarta yang sudah tidak jelas bentuknya dan hanya menjadi tempat hantu bermukim. Seperti ingin menghalau kesan suram yang ditunjukkan Porta Nigra, tak jauh dari gapura raksasa berwarna hitam itu orang Romawi menghiasi kota Trier dengan bangunan berwarna pink cerah, Palace of Trier. Istana pink ini dikelilingi taman bunga dengan patung-patung Romawi. Di awal tahun millennium ketiga, pemerintah kota Trier berusaha kompromi dengan jaman modern, dengan menjadikan kota kecil ini menjadi lokasi Grand Prix F1.

Aku gauli kota kecil ini dengan kamera poketku. Gereja katolik tertua di Jerman, Cathedral of Saint Peter, yang sudah menjadi saksi sejarah perkembangan Trier sejak abad ke empat masehi, menarik mataku untuk menjelajah ke dalam.

“Mau masuk Van?” tanyaku pada Vany selesai memotret bangunan Romawi ini dari luar.

Kulihat beberapa turis asing masuk ke dalam gereja yang dihiasi ornamen kaca bewarna-warni pada jendela-jendelanya.



“Ngga Ras, gue ngga berani masuk gereja” Vany menggeleng sambil mengambil langkah menjauh seperti melihat setan.

“Cuma lihat arsitekturnya aja kok” bujukku.

Vany tetap menggeleng dan memasukkan kameranya ke dalam tas. Aku menggerakan bahuku. Apa salahnya masuk ke rumah ibadat agama lain hanya sebagai turis? Aku tidak pernah melihat Vany si anak clubbing shalat lima waktu sekalipun di Indonesia. Tetapi selama di Eropa saat melihat gereja, dia seperti ketakutan akan dicap murtad hanya karena memotret bangunan gereja tua dari luar. “Fanatisme buta”, desisku.

Di dalam gereja, aku merasa semakin tersedot ke dalam pusaran waktu saat bangsa Romawi masih menduduki kota ini. Inilah salah satu bukti kemegahan arsitektur Romawi. Masih memandangi langit-langit gereja yang tinggi dan dihiasi lukisan malaikat, pikiranku melayang sampai ke atas sana. Pikiran nakalku bertanya-tanya mengapa seorang Karl Marx yang lahir di kota kecil yang indah, makmur dan memiliki seratus gereja bisa berpikiran nyleneh menciptakan aliran Marxisme?

Keluar dari gereja aku menemukan keramaian penduduk lokal di Hauptmarkt. Hauptmakrt pasar tradisional yang digelar di dekat gereja kecil bernama Gangolf dan selama ratusan tahun menjadi pusat kehidupan penduduk Trier. Pasar tradisional ini sangat menggoda untuk dikunjungi. Satu-satunya keriuhan yang mengaitkan aku dengan dunia modern di abad duapuluh satu. Semua hasil pertanian, peternakan, perikanan dan kerajinan penduduk sekitar dipamerkan di pasar tradisional yang jauh dari kesan becek, jorok, semrawut dan bau seperti pasar tradional di Jakarta.

Lihatlah pedagang bunga yang dengan bangga menawarkan bunga-bunga segar yang bermekaran dan berwarna-warni sangat indah. Buah-buahan yang ranum dan segar seperti anggur Mosel dan strawberry, sayur mayur, ikan dan daging segar ditata demikian rapinya. Aku dan Vany tak kuasa mencoba menu Fish and chip di depan take-away-cafe untuk makan siang. Terbuai oleh hiruk pikuk pembeli dan penjual di pasar yang dikelilingi bangunan kuno ini, aku dan Vany hampir lupa waktu untuk kembali ke stasiun kereta Trier.

Kami berlari –lari secepat yang kami bisa mirip orang dikejar anjing. Untunglah kami tidak terlambat. Untungnya lagi, aku sempat melihat pemandangan sekilas dari jendela kereta yang lewat, sesosok kepala lelaki mirip John Cusack.

“Van, ada cowok mirip John Cusack di kereta kita. OMG, John Cusack!!!” aku memegang kedua pipiku.

Tidak sabar kutunggu kereta berhenti. Sesaat kemudian kami langsung berhamburan mencari nomor kursi kami. Si John Cusack menengok ke arah kami, begitu mendengar keriuhan kami memasuki gerbong ini. Dua perempuan Asia dengan celoteh-celotehnya yang bercampur bahasa Indonesia dan Inggris. Dia tersenyum dan memunculkan dekik di pipinya. Aku tersenyum malu sambil berlalu, yang ternyata telah melewati nomor kursi kami. Kami mundur kembali ke arah John Cusack.

Aih, rupanya kali ini keberuntungan menyertaiku. Bangku aku dan Vany tepat bersebelahan dengan bangku John Cusack. Nomor bangku Vany ada di dekat jendela, aku ada di dekat lorong, dekat sang John Cusack. Setelah beberapa kali curi lihat ke arahnya, sosok lelaki di sebelahku ini ternyata lebih mirip perpaduan antara John Cusack dan Brandon Lee dengan bahasa tubuh mirip Keanu Reaves di film Speed. Bingung membayangkannya? Justru perpaduan yang unik itulah yang membuat aku tertarik untuk terus mencuri-curi kesempatan mengamati wajahnya saat dia menunduk membaca Lonely Planet. Ah kebetulan! Langsung kukeluarkan juga Buku Lonely Planet –Eropaku. Bukan untuk kubaca, tapi untuk menutupi kecanggunganku selama 1 jam duduk di kereta bersebelahan dengan John Cusack.

Vany yang asyik melihat-lihat tas belanjaannya berbisik.

”Ras, dari tadi cowok yang lu suka main-main mata tuh. Udah mirip sinetron aja nih kalian berdua”

Aku tersenyum, sambil pura-pura senam leher, kugerakkan kepala ke kiri dan ke kanan, ke bawah dan ke atas, dan saat kutolehkan kepala ke kanan, dia tersenyum ke arahku.

“Lonely planet”, dia menunjuk buku yang ada di pangkuanku dan membalikan sampul buku Lonely Planetnya kepadaku. Buku dalam perjalanan adalah ice breaker terbaik untuk dua orang yang tidak saling mengenal, dan ternyata strategiku berhasil. Semenit kemudian aku berkenalan dengan lelaki yang ternyata bernama Takeshi. Sudah biasa kutebak mengapa wajahnya demikian unik. Ternyata Takeshi mempunyai darah campuran Jepang dan Australia.

“Kamu dari Melbourne, Tak?” tanyaku.

“Yup, di South Yarra”, jawab Tak dengan suara baritonnya.

“Kakak saya tinggal di East St Kilda, dekat ngga dari situ?”

“Wow, ngga terlalu jauh, sekitar 30 menit dengan mobil” Lanjutnya lagi, “Saya senang akhirnya bertemu orang yang bisa berbahasa Inggris dengan lancar setelah singgah di beberapa kota di Jerman”

Aku mendengarkan dia bicara sambil otakku yang lain sibuk menghitung beberapa kebetulan antara aku dan Takeshi.

• Tak tinggal di Melbourne, satu wilayah dengan kakakku

• Ia menyukai jenis musik yang sama denganku

• Sama-sama pernah menonton konser Linkin Park

• Senang melukis

• Pecinta kucing sejati sejak kecil

• Usianya hanya bertaut 2 tahun

Aku kembali fokus dengan percakapan kami

“Dari sini mau ke mana Tak?

“Well, sebenarnya saya ngga tertarik dengan Luxembourg. Bloody plain place! Mungkin hanya sehari di sana, lalu lanjut ke Paris”

“Saya juga kembali ke Paris lusa, teman saya akan langsung ke Amsterdam sebelum pulang ke Jakarta”

Aku hampir teriak ‘YES!” jika saja tidak mendengar Vonny berdehem-dehem.

“Cie, ada yang dapat cowok lagi nih”

Aku berusaha menghiraukan omongan Vany.

“Yup Ras, kalau kamu ngga keberatan kita bisa jalan bareng di Paris kan?”

*sari Musdar- Cinderella in Paris*

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?