Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2011/07/02

Frenemy - Serigala Bergincu - Bagian ke4

Belum sempat kubuka mulut, ada pergerakan yang sangat cepat dari sisi kiriku ke sebelah Tak. Vany tiba-tiba sudah duduk manis dengan memunggungiku dan mukanya menghadap ke Tak. Pembicaraanku dengan Tak seketika terhenti.


Aku masih belum bisa mencerna apa yang terjadi. Seolah-olah aku mengalami halunisasi melihat tanda tanya besar di lorong kereta ini. Aku tidak mengira tindakan Vany yang demikian cepat, tidak sopan dan frontal menyabotase percakapanku dengan Tak. Tak berusaha untuk melanjutkan pembicaraan dengan mendongakkan kepalanya dari balik kepala Vany, tetapi Vany malah ribut bertanya ini itu dengan logat kemayu ala Cinta Lauranya. Layu sudah, aku terkejut dengan ulah seseorang yang selama ini kuanggap sahabat. Lagu “Creep” dari Radiohead, seolah menggema di telingaku, sedangkan pikiranku melesat mundur ke hari pertama kami memulai perjalanan ini.

But I am a creep

I am a weirdo

What the hell am I doing here?

I don’t belong here



Flash back film perjalanan kami berputar di otakku. Bagaimana dia yang sudah aku comblangi dengan Hraf, masih agresif menggoda Tony di pagi hari setelah berkencan dengan Hraf. Di Brussel dia menggoda Ahmad dan Shant yang mendekati aku. Aku sadar pertemuan dengan lelaki di tempat-tempat wisata saat kita melakukan travelling tidak dapat diharapkan untuk berlanjut ke hubungan serius, tetapi sebagai sahabat aku kesal karena orang yang aku percayai sejak awal perjalanan ini selalu ingin merebut perhatian laki-laki yang melakukan pendekatan atau berkenalan denganku.

Aku kehilangan kata-kata. Tenyata lebih sakit diberlakukan menyebalkan, dikhianati oleh orang yang semula dekat dengan kita, yang dulu kita sebut sahabat. Seorang sahabat seharusnya mendukung teman, membantu teman mewujudkan mimpi, dan bukannya menyabotase kebahagiaan teman. Kadar kemarahanku sudah mencapai level teratas. Di puncak kemarahanku, aku akan diam seribu basa dengan orang yang telah membuat aku kecewa. Kekecewaan yang mendalam telah membungkamku.

Otakku tak henti berpikir. Mestinya aku sudah bisa menduga hal seperti ini akan terjadi. Vany pernah bercerita, bagaimana kakaknya menikah dengan istrinya yang sekarang. Semula sang kakak mendekati dan pacaran dengan kakak istrinya, tetapi sang adik dengan agresif mendekati kakak Vany dan menyatakan cinta. Mungkin nilai inilah yang diikuti Vany. Sebelum janur kuning melengkung, merebut cowok yang ditaksir sahabat atau pacar sahabat bukanlah hal yang tabu, bahkan pacar saudara sekalipun. Inikah yang dinamakan teman makan teman alias frenemy? Teman yang yang iri jika sahabatnya lebih sukses, lebih bahagia, atau lebih populer? Aku baru sadar sekarang, Vany sering kali mengeluh karena di setiap kota dan negara yang kami singgahi, lebih banyak lelaki lokal yang mendekatiku.

Kupelototi jarum pendek dan panjang di jam tanganku yang seakan berkonspirasi ingin menahanku lebih lama di kereta ini. Mengapa waktu berjalan lambat di saat aku tidak ingin lagi melihat makhluk tak tahu sopan santun yang telah mengkudeta percakapanku dengan Tak tanpa basa-basi terlebih dahulu? Stasiun Luxembourg! Aku ingin segera keluar dari kereta ini. Setelah penyiksaan yang panjang selama 30 menit, akhirnya sampai juga kereta ini di stasiun.

Tanpa menghiraukan keberadaan Vany dan Tak, aku langsung mengambil langkah cepat menghambur ke terminal bis. Kunafikan kehadiran mereka yang mengikutiku lima langkah di belakangku. Tidak juga kuhiraukan mereka yang berusaha menyamakan langkah denganku. Kakiku semakin cepat menekuri jalan didepanku. Hop, aku melompat ke satu bis. Bukan, bukan ke bis yang membawa kami ke Jalan le Fort Olizy. Untuk saat ini aku tidak ingin menghirup oksigen yang sama dengan pengkhianat bergincu itu.

***

Bis berjalan melaju ke Rue St-Ulric di kawasan Grund, tempat orang tua Stefano tinggal. Setelah menapaki jalan batu yang mendaki, aku terdiam di depan bangunan kuno bertingkat dua yang berdempetan dengan rumah di sebelahnya. Apa yang aku lakukan di sini? Ah kenapa tadi di kereta jemariku lancang mengirim sms ke ponsel Stefano, mengeluh tentang Vany? Aku tidak mau dia berpikir aku masih mengejar-ngejar dia dan mencari –cari alasan dikhianati teman seperjalanan demi bertemu dengan dia lagi di sini setelah satu tahun lalu kami putus.

“Ciao, bienvenue!” sapa Stefano dengan T-shirt abu-abu dan celana kargo selutut di depan pintu.

“Pardon Stef, aku datang mendadak seperti ini”

Stefano memelukku, mencium pipi kiri dan kemudian pipi kanan.

“C’est pas grave. Untung aku masih ada di sini, minggu depan sudah harus balik ke Shanghai”

“Maaf ya, aku bikin kamu repot untuk hal ngga penting seperti ini.” Haram bagiku terlihat cengeng di depan semua pria yang kukenal.

“Orang tua kamu ngga apa-apa, Stef, kedatangan tamu mendadak?”

“Sst, kamu santai aja OK? Aku bilang ke mereka kamu ke Eropa sendiri dan tersesat”

Stefano mempersilakan aku masuk, kami menyusuri gang, berjalan terus ke belakang menuju dapur.

“Cloudine, c’est Saras”

Aku mengulurkan tangan ke Cloudine yang sedang menyiapkan santapan makan malam,

“Hai Cloudine”

“Ca va Saras? Hari ini saya tidak masak yang spesial, spagetti dengan ikan tuna OK kan?”

“Ca va. Hm, ada yang bisa saya bantu?”

Cloudine berpikir sejenak, menaruh tangan kirinya di pinggang dan mengetuk-ngetuk telunjuk kanannya di bibir.

“Bon, kamu bisa tolong bawa makanan ini ke meja di teras belakang?”

“Stefano, bantu Saras” Sang chef menaruh wadah pirex berisi spagetti.

Sambil menata santapan makan malam aku dan Stefano bercerita perjalananku dari Amsterdam sampai Luxembourg.

“Stef, kok Cloudine ada di sini, bukannya dia tinggal di Italia?”

“Baru bercerai. Untuk sementara dia tinggal di sini bersama anaknya. Jadi nanti saat makan malam jangan tanya-tanya tentang ini ke dia ya?”

“Deal, saya juga minta kamu ngga tanya-tanya lagi tentang teman saya Vany itu. Saya ingin melupakan dia Stef!”

Jam 7 malam aku makan malam bersama keluarga Stefano, kakak perempuannya, keponakannya Nolan dan ibunya, perempuan perancis yang mungil dan ayu. Wajah ayu itu diturunkan ke Cloudine, tidak sedikit pun dia turunkan ke Stefano yang lebih berwajah Italia, mirip ayahnya.

*Sari Musdar- Cinderella in Paris *

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?