Di salah satu sisi Dam Squareberdiri tegak Museum Madame
Tussaud yang sangat terkenal dengan patung lilin para selebritis dunia. Maka
setelah berada dalam antrian yang cukup panjang, beberapa menit kemudian saya
sibuk mengamati patung-patung para pemimpin dunia, ratu dan raja, dan para
pesohor dunia lainnya dari kalangan seni, musik dan olahraga. Patung penyanyi
Inggris Robin William George Clooney dan Bono (vokalis Grup Musik U2), Julia
Robert, Lady Diana dan Elvys Presley cukup menyedot minat banyak pengunjung
untuk berfoto bareng dengan gaya pengunjung yang tak kalah seru.
Hanya saja
sebelum bisa foto bareng dengan orang-orang terkenal tersebut, kita harus
mengalami pengalaman seru. Sebelum melihat patung-patung berwajah tampan dan
cantik itu, di bagian awal terdapat bagian yang memaparkan sejarah berdirinya
kota Amsterdam dengan suasana yang buram, gelap dan menakutkan, dan lebih
menakutkan lagi ketika tiba-tiba muncul sosok lelaki besar dengan baju penuh
bercak darah dan wajah yang menyeramkan mengaum keras sambil dengan tangannya
yang berusaha menyentuh pengunjung. Spontan banyak pengunjung yang berteriak
ketakutan, termasuk saya sambil berlari secepatnya meninggalkan ruangan
tersebut.
Rupanya atraksi tersebut adalah upaya pengelola museum untuk
memberikan pengalaman yang berbeda kepada para pengunjungnya, selain juga
ditunjukkan proses pembuatan patung lilin. Keluar dari Madame Tussaud masih jam
18.30 dan langit Amsterdam di musim semi masih terang. Saya memutuskan untuk
menyusuri jalan sekitar Amsterdam dengan berjalan kaki melalui Universitas
Amsterdam terus ke area yang cukup terkenal di Amsterdam, Red Light (nama asli
jalan ini adalah Nieuwendijk), semula sih saya ingin mengurungkan niat saya
karena aura di sini agak “menakutkan” untuk orang sepolos saya, apalagi saat
langkah saya mulai mendekati Red Light District dan melewati beberapa penjaga
restaurant atau toko sex berbadan besar dengan jas panjang berpenampilan klimis
ditambah makin mencekamkan karena pada saat saya ada di sana ada suara raungan
mobil polisi.
Wah, saya tadinya mau berbalik badan dan kembali ke tempat
menginap melalui Unversitas Amsterdam dan Dam Square, tetapi saya pikir,
daripada penasaran, saya tetap cuek ke sana. Cukup miris melewati pemandangan
perempuan-perempuan muda dan cantik berpakaian minim yang dipajang di etalase
kaca sepanjang gang di Red Light. Di toko –toko yang dikunjungi wisatawan di
sekitar kawasan ini selain kaos bertuliskan Amsterdam, pernik-pernik lainnya
(tas, topi dll) bertuliskan Amsterdam atau gambar daun ganja juga dijual dan
tentunya ganja kering dan cannabis dengan berbagai macam kualitas dibungkus
dalam plastic transparan. Bukan hal yang aneh melihat pemadat asik menghirup marijuana
dengan bebasnya di jalan, pemerintah Belanda memang memberikan legalitas kepada
mereka. What a country ! Selain itu di sini banyak sekali jasa piercing dan
pembuatan tattoo.
Keesokan harinya saya memutuskan untuk memenuhi obsesi saya
lainnya, menikmati lukisan salah satu pelukis idola saya, penganut aliran
impressionisme – lebih tepatnya sih aliran pointilisme—van Gogh. Saya ingat
betul saya begitu kagum dengan lukisan pelukis yang bernama lengkap Vincent van
Gogh, ketika pertama kali saya mengenalnya dari pelajaran Seni Rupa di bangku
SMP. Karena letaknya cukup jauh dari Dam Square, saya harus naik subway untuk
ke sana . Ternyata benar juga saran pegawai di Pusat Informasi Pariwisata
kemarin, jauh lebih baik kalau saya sudah membeli tiket masuk di sana sehingga
tidak perlu menunggu dalam antrian yang sangat panjang di depan Museum Van
Gogh.
Saya berada dalam antrian pengunjung dengan tiket masuk yang tidak
terlalu panjang, sedangkan di sisi saya antrian untuk mereka yang membeli tiket
masuk di Musium. Tepat jam 10 pintu masuk museum dibuka, para penjaga keamanan
dengan seragam warna hijau mencolok dan petugas berseragam jas hitam di dalam
museum sudah siap siaga dengan handi talkienya. Penjagaan keamanan di museum
ini sangat ketat, setelah melewati pemeriksaan di pintu masuk, tas atau jaket
harus dititipkan di tempat penitipan yang dijaga remaja-remaja setempat, untuk
mengabadikan lukisan-lukisan Van Gogh pun dilarang keras, kalau tidak petugas
berseragam jas hitam akan menegur kita. Saya kagum dengan Vincent van Gogh
Foundation yang mengelola museum ini dengan professional, termasuk pula
penyajian koleksi lukisan yang sangat menarik.
Hal ini mungkin terjadi karena
mereka juga bekerja sama dengan sebuah Bank besar di Belanda untuk mendanai
program mereka. Seandainya pemerintah Indonesia bisa melakukan hal yang sama,
menarik minat wisatawan dan penduduk Indonesia untuk mengunjungi museum…
Pengelola memamerkan lukisan dalam beberapa dekade kehidupan Van Gogh, dengan
menampilkan tulisan rentetan kehidupan Van Gogh sejak ia kecil, sekolah di
Seminari hingga ia beralih memulai karirnya sebagai pelukis dengan bekerja
sebagai pemula di beberapa kantor di Belgia dan Perancis. Ingin mengetahui
perjalanan hidup dan karya-karya Van Gogh?
Ada satu ruangan khusus yang berisi
banyak buku, dan juga kalau kita lelah berkeliling gedung dan menaiki anak
tangga gedung yang berlantai 4 ini, kita bisa melihat koleksi museum di
Komputer yang disediakan di ruangan ini. Di ruangan ini pula kita diajarkan
cara membuat lukisan seperti yang dilakukan Van Gogh, misalnya dijelaskan
bagaimana dan bahan untuk membuat dasar kanvas sebelum memulai membuat lukisan,
perbedaan lukisan Van Gogh dengan lukisan pelukis aliran Pointilisme di era
yang sama dengannya. Keluar dari pintu keluar, terdapat toko souvenir yang
menjual post card, buku, pembatas buku dan bahkan poster berukuran besar
reproduksi lukisan Van Gogh.
penulis : Sari musdar
Twitter : @sari_musdar
Facebook : http://www.facebook.com/sari.musdar
No comments:
Post a Comment
Any comments, share your experience or ask?