Kutunggu kau di Southern Cross - diambil dari novel Cinderella in Paris - Sari Musdar, terbit Mei 2010
Lelaki keempat yang akan kencan denganku menyebut Stasiun kereta South Yarra sebagai titik pertemuan kami. South Yarra, saat dia menyebut nama itu aku teringat peristiwa menyakitkan 3 tahun lalu di kereta yang membawaku dari Trier ke Luxembourg . Musim panas tiga tahun lalu, di tengah-tengah perkenalanku dengan Takeshi, lelaki campuran Jepang dan Australia asal South Yarra , Vany –ah kusebut lagi nama ini—mantan sahabatku menyabotase percakapanku dengan Tak dengan tidak sopannya. Setelah tiga kali musim panas, takdir membawaku ke sini, ke tempat Tak tinggal, bukan untuk bertemu Tak, lelaki yang sudah kulupakan, tetapi dengan Andrew Tonkin.
Lelaki keempat ini sepertinya cukup pengalaman dengan kencan buta. Dia takut jika aku kabur dari pertemuan pertama kami setelah melihatnya dalam dunia nyata. Andrew menyuruhku menunggu di depan pintu keluar Stasiun kereta South Yarra di dekat toko ‘7 eleven’, dan setelah mobilnya melewatiku, dia memintaku untuk mendatangi mobilnya di sebelah kiri stasiun. Andrew yang bekerja sebagai instruktur di perusahaan outbound mengajakku untuk berenang di hulu sungai Yarra.
"What? Kamu yakin? Cuaca panas sekali sekarang!"
“Iya, tapi ini cool! Lebih cool daripada spa” katanya meyakinkanku.
Berenang di sungai yang airnya dingin dan beriak, di tengah udara panas 44 derajat celcius tampaknya ide yang sangat menarik, walaupun aku harus menerima resiko kulitku berubah warna menjadi coklat. Melbourne ibarat oven raksasa saat ini, lima hari belakangan kami didera cuaca musim panas yang teramat panas. Kami melewati daerah pinggiran, kemudian daerah yang lebih dusun yang belum terjamah keriuhan kota, country side bernama Kangaroo Ground, yang dinamakan demikian sederhana, karena sejak ratusan tahun lampau hingga kini masyarakat setempat sering melihat kangguru berkeliaran melompati pagar lahan mereka di sore hari. Andrew menghentikan mobilnya, dia mengajakku turun di salah satu taman yang menjorok ke dalam dari jalan utama, yang disebut Kangaroo Ground Memorial. Di taman ini terdapat gedung berbentuk mirip mercu suar sekitar setinggi belasan meter.
“Hati-hati, tangganya curam”, ucap Andrew sambil mengulurkan tangannya yang besar ke arahku.
Andrew menuntunku menaiki anak-anak tangga yang curam dan sempit ke puncak menara. Saat sampai di atas dia melirikku.
“Bagus bukan, Ras?”
“Wow Andrew, indah sekali” aku terhenyak sebentar sepintas pemandangan disekelilingku mengingatkanku saat aku ada di Puncak Pas Bogor .
Dari atas menara terhampar pemandangan yang sungguh indah. Aku bisa melihat Melbourne dari segala penjuru dan kupotret pemandangan di depanku dari segala sudut menara.
Keindahan alam yang kulihat dari menara itu belum seberapa. Masyarakat Australia sekalipun yang tinggal di desa ternyata sangat mencintai lingkungan. Mereka sadar pentingnya menjaga habitat binatang liar dan ekosistem yang ada di sekitarnya. Mungkin juga karena sudah bertahun-tahun tidak dikirimi hujan, mereka sadar untuk hidup ramah dengan lingkungannya, dan bukannya merusak keindahan alam dan kekayaan hayati yang sudah diberikan Tuhan. Aku melewati wilayah yang dijadikan cagar alam oleh masyarakat setempat. Mendekati hulu sungai Yarra, Andrew mematikan mesin mobil Holdennya.
“Sst...biasanya aku melihat kawanan kangguru di sini”
Aku semakin membuncah, belum pernah kulihat binatang khas Australia ini dengan mata telanjang, yang berjarak sangat dekat denganku! Kami menunggu sekitar sepuluh menit, kemudian datang satu kangguru.
“Itu ibu kangguru”, lanjut Andrew.
Kemudian berturut-turut muncul kangguru yang ukurannya lebih kecil dari kangguru pertama tadi, aku menduga itu anak-anak Ibu Kangguru. Rupanya memang Kangguru sama seperti harimau hidup berkelompok dengan keluarganya.
“Yang itu paman atau bibinya ya Andrew?” candaku ketika melihat kangguru besar setinggi 2 meter melompati pagar.
Puas melihat kangguru, Andrew menyalakan mobilnya kembali dan lima menit kemudian ia memarkirkan mobilnya di halaman rumah seseorang yang ia sebut Aunt Marry. Lelaki bertubuh kekar ini mengeluarkan tasnya dan 2 jaket pengaman dari mobilnya. Aku masih di dalam mobil sibuk mengolesi krim pemutih dengan kandungan SPF 30 untuk mencegah kulitku semakin gosong dan mengganti sandal dengan sepatu gunung yang disediakan Andrew.
“Turun Ras, aku kenalkan ke Bibi Mary”
Kami memasuki halaman yang luas yang dipagari kayu. Tiga kuda Australia berwarna coklat dan berbadan tegap yang semula menikmati jerami di palung kayu, menengok ke arah kami. Aku si anak Jakarta yang jarang melihat kuda sedemikian besarnya tergoda untuk melihat lebih dekat. Pandangan mata ketiga kuda itu mengikuti langkah kami. Salah satu kuda mendekati pagar. Ia berjalan dengan melangkahkan keempat kakinya dengan anggun. Di dekat bibir pagar, dia menggerak-gerakkan kepalanya, membuat sirainya yang indah ikut bergoyang. Aku memotret kuda ganjen itu dari segala sisi, dan sepertinya sang kuda mengetahui angle terbaik untuknya. Aku tertawa-tawa melihat ulah kuda jantan Australia ini.
“Hai Mary!” sapa Andrew pada perempuan tua yang keluar dari rumah mungil.
“Hai Andrew, silakan masuk”
Andrew menggamit lenganku dan memperkenalkan aku pada Bibi Mary.
“Ah rupanya kalian sudah berkenalan dengan Tom. Hahaha”
“Tom?” Andrew dan aku saling berpandangan.
Bibi mary menunjuk si kuda tampan yang mendekatiku tadi.
“Cucu tetanggaku, Lorraine , memanggil kuda itu Tom”
Aku dan Andrew tertawa.
“Mary, kami akan berenang sebentar, nanti malam aku akan ke sini lagi”
Andrew membimbingku ke jalan setapak menuju sungai.
“Hati-hati Saras, ini pagar kawat bermuatan listrik”
“Oh, kenapa harus ada kawat listrik?” aku jalan berjingkat saat melewati satu pagar.
“Mencegah pencurian, Bibi Marry sudah tua dan tinggal seorang diri. Dulu banyak yang tanpa ijin berenang di sungai ini”
“Oh begitu”
“Nanti malam aku dan teman akan ke sini menemani Bibi Marry, musim panas seperti ini kami harus siaga menghadapi Bush Fire”
Aku tertegun, ternyata walaupun mereka tidak mendengung-dengungkan gotong royong, tetapi kehidupan antar tetangga di sini jauh lebih toleran dan saling membantu dibandingkan dengan Jakarta .
“OK kita sudah sampai Raz” Andrew menunjuk sungai berdiamater sepuluh meter di hadapan kami.
Aku sempat ngeri demi melihat air yang bergejolak di salah satu sisi yang berbatu-batu.
“Hihihi Andrew, aku mesti ngaku dosa"
"Kenapa?"
"Uhm, hehehe, jangan marah ya. Aku sebenarnya ngga bisa berenang", aku cengar-cengir.
Andrew melongo.
“Tenang, airnya ngga terlalu dalam, lagi pula kamu pakai life jacket. It’s OK, kalau takut, pegang tangan saya”
Aku mengucap bismillah tiga kali dan kemudian kuberanikan diri melangkahkan kaki ke sungai. Andrew membimbingku di depan, mencari jalur yang aman, karena dasar sungai ini menurut dia batu-batu yang terjal dan cukup licin karena ditumbuhi lumut dan ganggang. Kami menyeberangi sungai untuk berhenti di bebatuan besar di tengah sungai. Pepatah lama yang mengatakan air beriak tanda tak dalam, ternyata tidak bohong. Air sungai ini hanya sedalam pundak orang setinggi 155 cm. Setelah menyeberangi sungai dengan kaki lecet-lecet karena tadi sempat terpeleset dan terkena gesekan ganggang, aku sampai di bebatuan dengan riak sungai yang bergemuruh di depannya.
Sungguh pemandangan yang indah dan aku mengucapkan syukur bisa sampai di tempat yang masih alami ini. Duduk di atas bebatuan di hulu sungai Yarra dan menikmati indahnya sore dengan suara air yang bergemericik di sekitarku, sungguh ibarat berada di spa alami. Andrew menarik tanganku untuk turun ke air.
“Huh Saras, kamu mirip kucing, sama malasnya dan sama-sama takut air! Aku ajak kamu ke sini bukan untuk duduk-duduk di batu. Ayo turun!”
“Aliran airnya deras Andrew, aku takut terbawa arus”
“No, kamu kan pakai life jacket, jadi 100 % aman, come on! Kalaupun terbawa arus ngga akan tenggelam”, Andrew kembali meyakinkanku
“Hiks”, dalam hati aku meringis, membayangkan kejadian 1 tahun lalu saat rafting di sungai Cicatih, Sukabumi. di salah satu riam, seorang teman dan pemandu rafting kami mencoba gaya kuda-kuda, mereka berdiri di ujung perahu karet, karena kami yang baru sekali ikut rafting panik, perahu tiba-tiba terbalik, aku dan teman-teman lain tercebur di dalam air sungai, ujung perahu menghantam dahiku, dan berbalik menutupi tubuhku. Aku yang tidak bisa berenang sekarang berada di bawah perahu sepanjang dua meter lebih! Gelap ! Aku megap-megap yang membuat air makin masuk ke mulutku. Dunia terhenti sejenak, hanya ada aku, suara gelembung air dan kepanikanku! Aku ingat tadi saat briefing, pemandu mengingatkan kami untuk tidak panik jika tercebur ke dalam sungai. Aku berusaha tenang menggerakkan kedua tanganku untuk bisa mengangkat perahu ini, keluar dari air dan berteriak minta tolong. Untungnya beberapa saat kemudian ada tangan kekar si pemandu yang menarikku, dan aku berhasil sampai ke perahu temanku yang lain.
Andrew melihat kecemasan di raut wajahku, dia mendatangiku dan meraih kedua tanganku.
“It’s OK. Pegang tangan saya, kalau takut kamu cukup berenang di pinggiran batu ini”
Dengan hati-hati kuturunkan kakiku satu persatu dari batu besar ini menyentuh dasar sungai yang rendah di hadapanku. Air dingin terasa dari kaki sampai badan kemudian menjalar ke ubun-ubunku, yang sudah kepanasan dijerang sinar matahari 44 derajat celcius. Lima menit kemudian aku sudah melupakan trauma di Sungai Cicatih, dan sudah berenang-renang menjauhi batu besar tadi. Andrew tertawa melihat kerianganku, dan tiba-tiba dengan gerakan yang tidak dapat kuduga, dia memegang kepalaku dan menenggelamkan kepalaku selama lima detik ke bawah permukaan air. Aku menyemburkan air yang masuk ke mulut begitu muncul kembali ke permukaan.
“Andrew!!!” aku berteriak kesal sambil mencipratkan air ke arahnya.
Lelaki berdada bidang ini tertawa-tawa dan berenang menjauhiku.
“Hihihi. Ngga asyik kalau berenang tapi kepala kamu tetap kering!”
Aku kembali berenang-renang didekat batu besar tadi. Kuperhatikan Andrew sedang mengamati dengan seksama pemandangan yang ada di depannya, sesuatu menyembul-nyembul di permukaan sungai.
“Sst”, ia menaruh telunjuk tangan kanannya di bibir dan menoleh kearahku. Aku bergerak mendekat dan berusaha tidak mengeluarkan banyak suara dari gerakan tanganku di air.
“Sini, Saras. Kamu perhatikan itu?” Ia menunjuk pada benda yang mirip moncong binatang muncul tenggelam di permukaan air.
“Lihat, tapi kurang jelas”
Hening. Kami mengamati binatang dengan moncong panjang sekitar setengah telapak tangan manusia mirip bebek itu berenang –renang menuju pinggir sungai. Setelah seluruh badannya berada di darat, aku terkesiap.
Binatang yang nama ilmiahnya Ornithorhynchiade ini, lebih dikenal di sini dengan sebutan Platypus karena mempunyai empat kaki datar dan kecil dibandingkan dengan tubuhnya. Binatang berbulu yang biasa hidup di sungai atau danau di iklim panas maupun dingin ini, tidak hanya bisa berenang dengan tangannya, tetapi juga bisa menggali lubang di dasar sungai untuk membuat saluran sempit yang hanya bisa dilewati badannya sepanjang belasan meter, untuk membangun ruang mirip kamar sebagai tempat persembunyian yang nyaman. Sama seperti koala, binatang ini hanya ditemukan di benua Australia . Ia memilih habitat di sisi timur Australia mulai dari Cooktown di sebelah timur Queensland menyusur ke selatan di kawasan timur dan selatan Victoria -salah satunya di hulu Sungai Yarra- hingga pulau Hobart .
“Sst, I’m jealous with you! Sudah bertahun-tahun aku tinggal di sini baru kali ini lihat Platypus berenang di depan mata!”
“Yup, Thanks Andrew, hari ini lengkap sekali, kangguru, kuda, platypus, dan sungai Yarra!”
Sikap lelaki berbadan besar ini sangat baik dan sopan. Hampir tidak ada tanda-tanda ia menderita ADHD (Attention-deficit hyperactivity disorder Psychiatric /gangguan berupa kurangnya perhatian dan hiperaktif). Saat kenal pertama kali Andrew menceritakan kepadaku sedang mengikuti pengobatan ADHD di psikiaternya di South Yarra . Dia mengikuti terapi setiap dua minggu sekali dan dengan telaten mengkonsumsi obat-obat psikostimulan, anti depresan, stabilisator suasana hati dan antipsikotik. Aku sempat browsing di internet untuk mengetahui apa itu ADHD. Aneh, di mataku dia kelihatan normal sepanjang kencan sore ini. Berbicara dengan Andrew seperti membaca buku yang dibuka lebar-lebar, tidak ada bagian darinya yang ditutup-tutupi.
Seandainya tidak ada 6 sms teror yang Andrew terima saat kami selesai berenang, kencan ini hampir menjadi kencan terbaik yang pernah aku dapati selama di Australia . Setelah dia membaca sms yang muncul berturut-turut di i-phonenye, dia kelihatan gusar. Sangat nervous. Sepanjang perjalanan dari Kangaroo Ground ke Fawkner, dia bercerita tentang perempuan dari masa lalunya yang selalu meneror dan mengejeknya. Aku hanya berhasil menangkap beberapa kata. Semakin lama dia bercerita dengan frekuensi cepat. Sesekali dia menggumamkan kata-kata yang tidak jelas kudengar. Sesekali dia meracau. Nafasnya naik turun, beberapa kali dia mendengus. Pandangan matanya ke depan, tetapi nampak nanar menatap satu titik terjauh di ujung cakrawala. Lelaki ini seperti terpasung dalam masa terkelam dalam hidupnya yang ingin ia lupakan.
Dia berbicara kepadaku tetapi seperti tidak menganggapku ada. Dia seperti meminta tanggapanku, tetapi tidak mendengarkan apa yang aku ucapkan. Mulutnya terus saja menyerocoskan kata-kata yang sama berulang-ulang. Tubuhnya ada di mobil ini tetapi pikirannya mengawang-awng ke masa lalunya sehin gga pikirannya tidak focus ke jalan raya. Dua bola matanya bergerak-gerak dan tangannya gemetaran memegang stir mobil. Mukanya penuh ketegangan. Semenit kemudian aku melihat matanya berkaca-kaca. Belum pernah aku melihat lelaki dengan emosi selabil dia. Dia seperti bocah kecil ketakutan dan kebingungan yang terperangkap dalam tubuh lelaki dewasa. Aku memintanya untuk menepi sebentar dan menenangkan dirinya karena hampir saja mobil holden jingganya menyerempet batas jalan.
“Andrew, hati-hati” aku teriak.
“Oops sorry!”
Berkali –kali ia minta maaf padaku, tetapi setelah itu dia kembali meracau sambil menangis. Aku melihat lelaki yang duduk di sebelah kananku dengan iba. Sepuluh menit yang lalu dia adalah lelaki termanis yang berhasil mencuri hatiku dan kupikir dapat melindungiku. Tetapi saat ini aku melihat dia seperti anak kecil yang sangat rapuh, yang butuh perhatian dan kasih sayang berlebih. Untunglah setelah empat puluh menit tersesat di jalan tol
Hume Way
yang panjang, aku sampai di rumah dengan selamat.
No comments:
Post a Comment
Any comments, share your experience or ask?