15 Januari 2010
Publik Indonesia dikejutkan oleh berita di salah satu stasiun televisi berita yang sering membeberkan berita-berita yang membuat masyarakat gegar.
Seorang gadis berbadan montok penampilan gadis baik-baik dan terpelajar dengan kaca mata minus dan rambut ikal tergerai, tampil di hadapan sekelompok wartawan. Gadis ini ditemani pengacaranya mengaku menjadi korban perbuatan cabul guru spiritualnya, seorang tokoh yang dikenal tidak hanya di Indonesia tapi juga dunia Internasional, begitu informasi yang diberikan reporter televisi TwentyOne sambil menyebut kembali nama berbau India yang baru saat itu kudengar.
Aku melihat sekilas ke layar televisi. Kamera menyorot ke wajah perempuan muda. Perempuan usia 20 awal itu kelihatan sangat luwes saat menjawab pertanyaan wartawan seperti petugas HUMAS (Hubungan Masyarakat) yang diakhiri dengan senyum manis.
Aku segera mengganti saluran televisi, jengah dengan berita seperti ini. Mirip-mirip selebritis yang menyiarkan aib keluarga di Infotainment dengan menggelar Press Conferrence.
Aku melihat sekilas ke layar televisi. Kamera menyorot ke wajah perempuan muda. Perempuan usia 20 awal itu kelihatan sangat luwes saat menjawab pertanyaan wartawan seperti petugas HUMAS (Hubungan Masyarakat) yang diakhiri dengan senyum manis.
Aku segera mengganti saluran televisi, jengah dengan berita seperti ini. Mirip-mirip selebritis yang menyiarkan aib keluarga di Infotainment dengan menggelar Press Conferrence.
Bab 1
Sidang Pertama
22 Juni 2010
22 Juni 2010
Seminggu yang lalu perasaanku membuncah, ini kasus besar pertamaku,
dugaan pelecehan seksual, dengan terlapor seorang tokoh spiritual ternama. Satu
sisi sebagai perempuan, benar atau salah klienku, aku merasa pengkhianat
kaumku. Tetapi sebagai pengacara profesional, tidak mungkin aku menolak
perintah pengacara senior menemani beliau mendampingi klien Firma kami di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Ini kali pertama aku menjejakkan kaki di pengadilan, sebagai
pengacara. Dulu sebelum masuk Fakultas hukum, terbuai dengan film-film hukum
Hollywood "Law and Order" dan "Aly Mc Beal", aku membayangkan dengan setelan necis
hitam-hitam beracara di gedung pengadilan yang megah. Sayangnya di sini,
pengadilan tidak semegah itu, tidak ada pilar-pilar besar di depan gedung,
seperti gedung-gedung megah di Eropa. Aku sanksi ruangan ini berAC, karena
sedari tadi masih berusaha menyeka telapak tangan yang berkeringat dengan tisu.
Pak Hamonangan menoleh ke semua angota tim pembela, termasuk
ke arahku. Melihat gelagatku yang seperti tersangka ketakutan saat harus
membuat BAP di kantor polisi, laki-laki berkumis tebal mirip Pak Kumis ini
berdehem beberapa kali. Kami pengacara, selain harus mempunyai keahlian
menganalisis hukum dan kasus, kami juga harus tampak tegas dan berwibawa.
Penampilan sangat menjamin kesuksesan pengacara, bukan seperti aku yg saat ini
seperti maling tertangkap tangan.
Sudah enam bulan lebih waktu bergulir sejak pertama Firma
Hukum bosku menerima kasus ini, sejak aku dengar berita di TV tentang
kasus yang menggegarkan khalayak umum. Aku sendiri sebenarnya tidak kenal tokoh
yang menjadi tersangka dalam kasus ini. Saat itu aku masih menjadi paralegal di
Firma Hukum ini. Jangan bayangkan pekerjaan yang sangat mentereng dari
jabatanku sebagai paralegal. Sebagai mahasiswa yang baru saja lulus dari Fakultas Hukum di
salah satu universitas di Bandung, tugasku hampir mirip dengan asisten para pengacara
senior yang sering hilir mudik tidak hanya di pengadilan tetapi juga di media.
Firma hukum ini terletak di lantai 40 gedung tertinggi di Pusat Bisnis
Sudirman. Interiornya disaput barang-barang mewah berkesan elegan dari kayu
jati dan batu marmer hitam dan putih.
Di kantor yang megah ini, pekerjaanku yang terdengar menarik
di Jobs Profileku, dalam praketeknya adalah mengurung diri di perpustakaan
untuk melakukan riset peraturan perundangan dan jurisprudensi yang berlaku
terkait kasus yang kami tangani. Selain itu menyiapkan salinan Berkas dan
dokumen yang terkait yang kami terima dari klien.
Aku masuk tergopoh-gopoh sambil mengaitkan kancing jas
abu-abuku. Pak Ardian, Senior lawyer di
firma ini tadi menelponku untuk segera mengambil satu lagi berkas dari kasus
yang kami tangani. “Rein, tolong kamu copy untuk semua tim Pembela ya,” Pak
Ardian berbicara tanpa memandang ke wajahku, tangannya sibuk memasukkan kode di
pesawat telpon untuk conference call. Aku mengangguk seolah-olah Pak Ardian
melihatku. “Jam sore nanti sudah harus siap di meja Meeting Ruang Kalimantan
ya. 10 copy, kamu juga harus punya satu” Aku langsung mengambil dokumen setebal
10 cm dan meninggalkan ruangan Pak Ardian.
Pertama kali aku membaca salinan Berita Acara Pemeriksaan di Polisi setebal 10 cm
ini, aku sempat mengalami gegar keyakinan, shock, atau apalah namanya. Lembar demi lembar kubaca dengan penuh keraguan. “Apakah seperti ini pekerjaan
seorang pengacara”, tanyaku. Berkas yang aku baca ini, mirip dengan
“stensilan”. Ah ya itu nama yang disebut teman-teman laki-lakiku di SMP untuk
menyebut novel erotis, novel yang memenuhi segala fantasi mereka tentang seks saat memasuki usia akil balik. Dan baru kali ini aku membaca salinan BAP seteebal ini,
yang mengulang-ulang menyebut kejadian tidak senonoh pada para saksi pelapor/ korban. Semakin aku dalami berkas
ini, semakin aku mengutuki mengapa Partner Law firm kami, Pak Hamonangan mau
menerima kasus ini.
SM
I want to tell you that I read your cinderella in paris book and it was fabulous! I hope you add me as a friend on your facebook. You seem like a cool person :) brenda christie
ReplyDeletehi Brenda
DeleteThanks for your comment, pls send invitation to me :-)