Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2012/08/04

Bang Jampang dari Belanda

Di suatu waktu di tahun 1994, sebagai imigran, saya baru tinggal menetap di Perancis selama 4 tahun kala itu. Masih dalam tahap "gumun" atau excited. Eropa di mata saya sebagai pendatang sangatlah mewah, megah dan mempesona, seperti gambar-gambar indah yang saya lihat di kartu pos atau film.

Saat itu saya sedang mengunjungi Belanda. Tertarik untuk mengetahui sejarah negara saya dan karena kakek saya, (alm) Salim Musdar, pernah menjadi mantri Kehutanan di daerah hutan jati di Cepu, Blora dan sekitarnya untuk Pemerintah Belanda di Indonesia, saya mengunjungi salah satu kota kecil di dekat Wageningen bernama Arnhem.  Untuk sebagian besar turis Indonesia, mungkin kota ini akan dilewatkan, karena memang pamornya tidak sebesar Amsterdam. Tetapi memang tujuan saya kali ini lebih ke pembelajaran masa lalu negara saya tercinta, maka berlabuhlah saya ke suatu museum, museum para veteran pejuang Belanda.

Di depan saya lewat lelaki tua berpawakan kecil untuk orang Eropa, tinggi sekitar 165 cm, tidak berbeda jauh dengan saya. Saya hanya tersenyum saat berpapasan menangkap mata birunya yang masih kelihatan indah sambil melihat-lihat koleksi museum dan mengkhayal museum di Indonesia memiliki kurator yang bagus. Belum jauh saya dari laki-laki tua Belanda tadi, saya mendengar 1 kalimat yang membuat saya merasa seperti di tanah Pasundan. Saya menoleh ke sumber suara. Mata saya terbelalak, kata-kata dalam bahasa Sunda yang tidak saya mengerti artinya itu, diucapkan dengan aksen Sunda halus seperti orang Sunda di kawasan Bandung. Nyaris saya lupa, saya berada di daratan Eropa, beribu-ribu mil dari Jawa Barat. Kalimat sunda yang renyah dengan aksen mengalun-alun legato itu, keluar dari si kakek Belanda yang tadi berpapasan dengan saya.

Spontan, merasa bertemu "saudara" di tanah rantau, saya mendekat, dan menyapa si kakek dalam bahasa Inggris, karena saya tidak bisa berbahasa Belanda, cuma bisa bahasa Jawa, Indonesia, dan Perancis. "Hi, maybe I am wrong, but I think i just hear you speak Sundanese?" Si kakek tidak mengerti ucapan saya. Saya melongo. "Naon? Abdi nte ngerti, Basa Sunda, Indonesia atau belanda sedikit-sedikit"

Saya nyaris ngakak tidak percaya, kalimat barusan diucapkan dengan sangat pas aksen sundanya dari seorang berpenampilan fisik Eropa tulen. Nyaris tidak terkesan sok kebule-bulean seperti penyanyi berinisial CL yang bertahun-tahun tinggal di Jakarta masih saja malu berbahasa Indonesia dengan aksen Indonesia.

Kakek Cecep sangat senang saat tahu saya berasal dari Jakarta, Indonesia, negeri yang pernah dia tinggalkan hampir 60 tahun silam.

Percakapan kemudian dilanjutkan dalam bahasa Indonesia dan sedikit Sunda dari sang kakek.
Sebut saja namanya Cecep. Jangan tertawa, ini serius, nama sang kakek ini memang sangat Sunda cuma saya lupa persis nama aslinya karena pertemuan yang sudah sangat lama.

Kakek Cecep bercerita layaknya nenek saya bercerita tentang masa mudanya. Saya langsung main tembak, bagaimana bisa seorang Belanda seperti dia berbahasa Sunda lancar dan sangat nyunda. Dia tertawa tapi kemudian ada raut sedih di wajahnya. "Kalau cerita tentang diri abdi, abdi teh bingung. Mau dibilang orang Indonesia, sudah ngga diakuin Indonesia, mau dibilang Belanda, saya ngga punya nama family belanda, nama abdi kan sunda, ibu abdi yang kasih nama"

'Kenapa kek?" "yah mungkin ini nasibnya anak haram, anak simpanan. Bapak abdi urang Belanda asli pejabat di militer  di jaman kumpeni. Jaman dahulu banyak orang belanda yang punya istri simpanan, nyai-nyai di bandung. Setelah mereka kembali ke Belanda, kami ditinggal begitu wae. Ibu abdi cuma orang kampung, abdi  dididik dia sebagai orang Sunda walau penampilan abdi Belanda asli, mata biru. Abdi jagoan kampung, sebut aja abdi ini abang Jampang, jago berantem pake golok, parang segala macam gaya silat abdi bisa. Abdi cinta tanah air Indonesia, tanah Pasundan. Tanpa ragu abdi akan bela negara itu sampai titik darah penghabisan, sok abdi daftar ke PETA (Pembela Tanah Air)"

Saya melihat ke mata biru kakek ini, kagum akan jiwa nasionalismenya. "E malah abdi dilarang, diketawain, kata mereka, muka kamu muka musuh, muka Belanda! Sakit hati ini! akhirnya abdi daftar ke militer pemerintah belanda di Indonesia. Sedih, hati ini teriris-iris harus membunuh bangsa sendiri. Selepas proses Indonesia merdeka dari belanda, abdi hoyong ke Belanda, sampailah di Arnhem"

"Sebagai veteran kakek dihargai pemerintah Belanda?" Kakek di depan saya mengelus dadanya. "Susah, di kalangan orang belanda, di kesatuan tempat abdi gabung, abdi juga dianggap kelas dua, bukan asli berdarah Belanda. Pensiunan veteran juga ngga besar, padahal dulu selalu ditaruh di garis depan melawan urang Indonesia. belanda jahat!"

Saya menarik nafas dalam. Inilah sisi kelam penjajahan atau peperangan? Seperti juga nasib para "Amerasiana" anak-anak hasil hubungan di luar nikah antara tentara Amerika Serikat dan para gadis penghibur di Vietnam? Siapa yang mau menjadi anak istri simpanan? Tidak diakui di negara sang ibu dan negara sang Bapak? Mungkin buat kakek tidak ada pilihan dalam hidupnya.

*Seperti diceritakan kakak saya, Lily Salim, saat berkunjung ke Museum Veteran, Arnhem, belanda*

3 comments:

  1. Jadi ingat roman Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, saya suka sekali buku itu. Terima kasih ceritanya! Pendatang baru nih, ijin baca-baca tulisan yang lain :)

    ReplyDelete
  2. sindrom mataram....

    ReplyDelete

Any comments, share your experience or ask?