Di suatu waktu di tahun 1994, sebagai imigran, saya baru tinggal
menetap di Perancis selama 4 tahun kala itu. Masih dalam tahap "gumun"
atau excited. Eropa di mata saya sebagai pendatang sangatlah mewah,
megah dan mempesona, seperti gambar-gambar indah yang saya lihat di
kartu pos atau film.
Saat itu saya sedang mengunjungi
Belanda. Tertarik untuk mengetahui sejarah negara saya dan karena kakek
saya, (alm) Salim Musdar, pernah menjadi mantri Kehutanan di daerah
hutan jati di Cepu, Blora dan sekitarnya untuk Pemerintah Belanda di Indonesia, saya mengunjungi salah satu kota kecil di dekat Wageningen bernama Arnhem. Untuk sebagian besar
turis Indonesia, mungkin kota ini akan dilewatkan, karena memang
pamornya tidak sebesar Amsterdam. Tetapi memang tujuan saya kali ini
lebih ke pembelajaran masa lalu negara saya tercinta, maka berlabuhlah
saya ke suatu museum, museum para veteran pejuang Belanda.
Di
depan saya lewat lelaki tua berpawakan kecil untuk orang Eropa, tinggi
sekitar 165 cm, tidak berbeda jauh dengan saya. Saya hanya tersenyum
saat berpapasan menangkap mata birunya yang masih kelihatan indah sambil
melihat-lihat koleksi museum dan mengkhayal museum di Indonesia
memiliki kurator yang bagus. Belum jauh saya dari laki-laki tua Belanda
tadi, saya mendengar 1 kalimat yang membuat saya merasa seperti di tanah
Pasundan. Saya menoleh ke sumber suara. Mata saya terbelalak, kata-kata
dalam bahasa Sunda yang tidak saya mengerti artinya itu, diucapkan
dengan aksen Sunda halus seperti orang Sunda di kawasan Bandung. Nyaris
saya lupa, saya berada di daratan Eropa, beribu-ribu mil dari Jawa
Barat. Kalimat sunda yang renyah dengan aksen mengalun-alun legato itu, keluar
dari si kakek Belanda yang tadi berpapasan dengan saya.
Spontan,
merasa bertemu "saudara" di tanah rantau, saya mendekat, dan menyapa si
kakek dalam bahasa Inggris, karena saya tidak bisa berbahasa Belanda, cuma bisa bahasa Jawa,
Indonesia, dan Perancis. "Hi, maybe I am wrong, but I think i just hear
you speak Sundanese?" Si kakek tidak mengerti ucapan saya. Saya melongo.
"Naon? Abdi nte ngerti, Basa Sunda, Indonesia atau belanda
sedikit-sedikit"
Saya nyaris ngakak tidak percaya, kalimat
barusan diucapkan dengan sangat pas aksen sundanya dari seorang
berpenampilan fisik Eropa tulen. Nyaris tidak terkesan sok kebule-bulean
seperti penyanyi berinisial CL yang bertahun-tahun tinggal di Jakarta
masih saja malu berbahasa Indonesia dengan aksen Indonesia.
Kakek Cecep sangat
senang saat tahu saya berasal dari Jakarta, Indonesia, negeri yang
pernah dia tinggalkan hampir 60 tahun silam.
Percakapan kemudian dilanjutkan dalam bahasa Indonesia dan sedikit Sunda dari sang kakek.
Sebut
saja namanya Cecep. Jangan tertawa, ini serius, nama sang kakek ini
memang sangat Sunda cuma saya lupa persis nama aslinya karena pertemuan
yang sudah sangat lama.
Kakek Cecep bercerita layaknya
nenek saya bercerita tentang masa mudanya. Saya langsung main tembak,
bagaimana bisa seorang Belanda seperti dia berbahasa Sunda lancar dan
sangat nyunda. Dia tertawa tapi kemudian ada raut sedih di wajahnya.
"Kalau cerita tentang diri abdi, abdi teh bingung. Mau dibilang orang
Indonesia, sudah ngga diakuin Indonesia, mau dibilang Belanda, saya ngga
punya nama family belanda, nama abdi kan sunda, ibu abdi yang kasih nama"
'Kenapa kek?" "yah mungkin ini
nasibnya anak haram, anak simpanan. Bapak abdi urang Belanda asli
pejabat di militer di jaman kumpeni. Jaman dahulu banyak orang belanda yang
punya istri simpanan, nyai-nyai di bandung. Setelah mereka kembali ke
Belanda, kami ditinggal begitu wae. Ibu abdi cuma orang kampung, abdi
dididik dia sebagai orang Sunda walau penampilan abdi Belanda asli, mata
biru. Abdi jagoan kampung, sebut aja abdi ini abang Jampang, jago
berantem pake golok, parang segala macam gaya silat abdi bisa. Abdi
cinta tanah air Indonesia, tanah Pasundan. Tanpa ragu abdi akan bela negara itu sampai titik darah penghabisan, sok abdi daftar ke
PETA (Pembela Tanah Air)"
Saya melihat ke mata biru kakek
ini, kagum akan jiwa nasionalismenya. "E malah abdi dilarang,
diketawain, kata mereka, muka kamu muka musuh, muka Belanda! Sakit hati
ini! akhirnya abdi daftar ke militer pemerintah belanda di Indonesia.
Sedih, hati ini teriris-iris harus membunuh bangsa sendiri. Selepas
proses Indonesia merdeka dari belanda, abdi hoyong ke Belanda, sampailah
di Arnhem"
"Sebagai veteran kakek dihargai pemerintah Belanda?" Kakek di depan saya mengelus dadanya. "Susah, di kalangan
orang belanda, di kesatuan tempat abdi gabung, abdi juga dianggap kelas
dua, bukan asli berdarah Belanda. Pensiunan veteran juga ngga besar,
padahal dulu selalu ditaruh di garis depan melawan urang Indonesia.
belanda jahat!"
Saya menarik nafas dalam. Inilah sisi
kelam penjajahan atau peperangan? Seperti juga nasib para "Amerasiana" anak-anak hasil hubungan di luar nikah antara tentara Amerika Serikat dan para gadis penghibur di Vietnam? Siapa yang mau menjadi anak istri
simpanan? Tidak diakui di negara sang ibu dan negara sang Bapak? Mungkin
buat kakek tidak ada pilihan dalam hidupnya.
*Seperti diceritakan kakak saya, Lily Salim, saat berkunjung ke Museum Veteran, Arnhem, belanda*
A Fun Fearless Female traveler (The Jakarta Post April 22nd, 2012) who likes to share her story on romance traveling novel. Author of best selling romance traveling novel, "Cinderella in Paris" & some books. Here, she wanna share her writing & photos (mostly about traveling physically and mentally aka contemplation). contact : sarimusdarcom@gmail.com twitter :@realsarimusdar unless mentioned, all pics are Sari's property
Trip With Sari Musdar
Facebook Badge
2012/08/04
Bang Jampang dari Belanda
Former legal & HR practioner who finds peace in tafakir, writing and traveling. Book Author of best selling #cinderellainparis & some travel books. Founder of @click4tripID & @duniakerjaID | Mostly writing about traveling, tafakur and up to date info.
| Instagram @SariMusdar |
Facebook : Sari Musdar. Sari can be contacted at sari.musdar09@gmail.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Jadi ingat roman Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, saya suka sekali buku itu. Terima kasih ceritanya! Pendatang baru nih, ijin baca-baca tulisan yang lain :)
ReplyDeleteSalam kenal juga dari Indonesia :-)
Deletesindrom mataram....
ReplyDelete