Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2014/12/27

Pursuing your happiness and real love?

Hari ini saya mendapatkan beberapa fakta hidup yang membuat saya tersenyum, rasanya seperti Allah baru saja bilang "I told you, Sari, you just relax and trust ME, I only give you THE BEST FOR YOU"

Saya dan setiap teman perempuan yang belum menikah sampai detik tadi selalu beranggapan orang yang menikah jauh lebih bahagia daripada orang yeng belum menikah.

Sampai saya bertemu seseorang yang berani melakukan sesuatu yang menurut kebanyakan orang Indonesia yg masih terikat norma dan nilai-nilai komunitas, termasuk sangat ekstrem.

Bagaimana tidak ekstrem, untuk mengejar kebahagiaan dan cinta sejati, dia memutuskan meninggalkan anak-anaknya dan suaminya setelah cukup lama menikah.

Apakah betul setelah dia melepaskan diri dari ikatan pernikahan dia bahagia? Saya kurang tahu, tapi dia mengalami jatuh bangun karena putus cinta dari sesuatu yang di awal menurutnya adalah cinta sejati yang dia cari dan kebahagiaan.

Lalu ada pula cerita seseorang perempuan muslimah berjilbab yang insya ALLAH istri soleha, ditinggalkan suami yang selingkuh dengan perempuan yang penampilannya seperti perempuan penggoda dengan badan sexy yang tentunya jauh berbeda dengan istrinya yang sudah menggemuk setelah sekian tahun menikah.

Seorang istri yang di sosial media membanggakan suaminya pria yang ngga neko-neko dan suami yang setia, ternyata tanpa sepengetahuan dia sang suaminya menggoda perempuan lajang dengan kata-kata nakal yang cenderung melecehkan.

Kemudian saya berpikir apakah sebegitu sulitnya SAAT INI untuk mendapatkan hubungan, mempertahankannya dan kemudian bahagia dengan orang yang kita perjuangkan atas nama perjuangan mendapatkan cinta sejati dan kebahagiaan?

Apakah betul kata pepatah, kita berada di dalam jaman yang bila sesuatu tidak berfuingsi dengan baik, kita bisa dengan mudah membuang barang tersebut dan membeli yang baru, beda dengan jaman di saat orang tua kita atau nenek kakek kita hidup, jika ada sesuatu yang kurang berfungsi, harus dibenarkan.

Bayangkan saja, dulu di jaman nenek saya Sumini masih gadis, calon suaminya, Salim, hanya melihat dia sekilas saat dia sedang membatik. Tanpa proses pacaran, keduanya menikah happily ever after sampai eyang kakung saya meninggal, lalu nenek menikah 2 kali lagi.

Teknologi komunikasi yang sangat canggih ternyata tidak berhubungan pararel pada kesuksesan hubungan yang bahagia.

Jaman nenek kakek saya, proses menyatakan cinta dilakukan dengan ayah sang pria bersama putranya menyambangi rumah sang gadis bertemu dengan orang tua sang gadis, tentunya tidak asal-asalan ayah sang pria datang ke rumah orang tua sang gadis, sang pria harus mengumpulkan keberanian luar biasa untuk menyampaikan perasaan sukanya pada gadis di desanya dan meyakinkan sang ayah, gadis yang dipilih adalah gadis terbaik untuk dia.

Di jaman orang tua kita pernyataan cinta harus dilakukan dengan segenap usaha yang tidak mudah, para lelaki membuat surat cinta yang indah dibuat dengan proses merenung yang lama lalu dimasukkan ke tas gadis yang dia suka di kelas.

Jaman kakak pertama saya, saat itu belum ada internet, sementara pacarnya ada di Perancis. Mereka hanya berhubungan lewat surat cinta yang dikirim sebulan sekali. Bisa dibayangkan tiap bulan dengan perasaan tidak menentu menunggu surat sang pacar yang menyampaikan kabar yang sudah basi 1 bulan saat surat itu diterima. Tapi tetap cinta mereka makin membesar dan tanpa proses panjang sang pacar datang ke bapak saya untuk melamar.

Cinta menjadi barang yang sulit mungkin karena sex mudah didapat tanpa menikah?
Entahlah.

Lalu saya bertanya apa sebenarnya kebahagiaan itu? Apa sebenarnya cinta sejati?

Kebahagiaan ternyata sangat personal begitu juga pengertian kita tentang cinta.

Jika sang bujangan berpikir pernikahan membuat orang bahagia. dia harus rela dan ikhlas untuk BEKERJA KERAS BERSAMA PASANGANNYA untuk mewujudkan pernikahan yang bahagia. Tidak ada yang gratis di dunia ini.

Kakak-kakak saya contohnya, harus rela meninggalkan tanah air, rela belajar memasak di dapur, rela meninggalkan karir, rela belajar bahasa lagi atau kuliah lagi untuk bisa bekerja di sana, rela untuk menekan ego yang dulu saat lulus kuliah bermimpi menjadi wanita karir, harus menjadi ibu Rumah Tangga sampai anaknya berusia cukup untuk bisa ditinggal bekerja lagi.

Kerelaan yang diawali dengan proses menangis, mengeluh dan ngedumel sebelum akhirnya terpaksa hrs memilih untuk ikhlas.

Apakah mereka bahagia? Hanya mereka yang tahu, sekali pun bahagia, tentu bahagia yang harus dilewati dengan proses, proses berkorban atas nama kebahagiaan. 

Untuk saya pribadi yang sempat mempelajari beberapa agama, mempelajari hal spiritual, saya percaya saat ini saya berada di satu titik telah mengenal diri saya, mengenal apa itu bahagia versi saya dan mengenal Tuhan saya.

Sekali lagi bahagia dan cinta sangatlah personal.

Bahagia saya dan pengertian cinta menurut saya, pastilah berbeda dengan anda. tapi apa pun keyakinan/ agama anda, saya yakin, dengan mengenal siapa diri anda, apa tujuan hidup anda di dunia, itu akan memudahkan anda untuk mengerti arti kebahagiaan untuk anda dan bagaimana mencapainya.

Salam, amole, namaste

No comments:

Post a Comment

Any comments, share your experience or ask?