Ayah saya baru saja meninggal Senin lalu. Rasanya aneh
menyebut kata meninggal sebagai predikat
kalimat bersubyek ayah. Sampai detik ini saya belum benar-benar “menyadari”
ayah saya sudah meninggalkan kami, sudah tidak tinggal di alam yang sama dengan
kami. Rasanya hanya pergi untuk beberapa hari. Saya baru sadar, ayah saya
memang sudah meninggal setiap pagi beberapa menit setelah mata ini terbuka,
setelah nyawa kembali berkumpul dengan raga, dan itu membuat saya menangis,
saya anak yatim saat ini.
Hubungan saya dengan ayah beberapa tahun belakangan ini memang kurang baik,
karena kami sama-sama keras kepala dan berbeda prinsip hidup, ditambah
kenyataan dari kecil saya bukan anak emas ayah saya.
Bahkan saat ayah koma, saat kesadarannya drop di angka
terendah menurut dokter yang datang ke rumah dengan ambulans, alam bawah sadar
ayah mengingat dan memanggil-manggil nama salah satu kakak saya.
Saya memang tidak terlalu dekat, tapi saya ingat, saat
kecil, kami mempunyai hubungan yang harmonis. Saya masih ingat kenangan manis
piknik bersama ayah, ibu, kakak-kakak dan adik saya. Ayah saya bukan orang yang
ekspresif untuk mengungkapkan rasa sayangnya pada ke lima anaknya, tapi saya
baru menyadarinya di tahun terakhir saya bersama beliau. Ayah jungkir balik pontang panting mencari
uang bahkan bekerja di sebuah universitas selama 5 tahun setelah pensiun demi kelima anak-anaknya. Itulah wujud
cintanya yang terbesar kepada kami darah
dagingnya. Dan seperti yang saya katakan
tadi, hubutngan saya dan ayah kurang dekat, tapi ada beberapa tahun dimana dia
pernah menjadi hero dimata saya sebagi putrinya. Ada waktu-waktu kualitatif
menurut saya kami sangat intim sebagai ayah dan anak.
Ayah saya sangat senang olahraga, dia mahir di bidang terjun
payung, menembak, sepak bola dan volley, bahkan untuk olahraga yang terakhir,
dia menjadi pelatih untuk polisi-polisi muda. Sayangnya bakat olahraga ayah
tidak menurun ke salah satu anaknya. Sebagai instruktur olahraga, seringkali
ayah mendapat tiket masuk gratis liga sepakbola dan volley. Saya ingat sekali
di masa kami kecil, tahun 1980an awal, saat itu satu-satunya kendaraan yang
ayah miliki vespa biru. Setiap ada liga sepakbola, ayah sering bergantian mengajak 2 atau 3 dari kelima anaknya
membonceng di vespa untuk ikut menonton sepak bola di istora.
Saya saat itu
tidak mengerti bola, tidak bisa mengerti mengapa ayah dan banyak penonton di
Istora Senayan berteriak bagai orang gila. Saat itu saya malah sibuk mengamati
tingkah pola penonton yang menggelinjang jika timnya kebobolan dan berteriak
senang jika timnya berhasil mencetak
angka. Saya mengamati mereka sambil menikmati es krim coklat. Acara menonton
bola Bapak-anak ini menjadi semakin menarik karena biasanya diakhiri dengan
menikmati jajanan khas indonesia, sop daging, soto babat betawi, sate dan nasi
goreng di kawasan Blok S. Inilah “sweet moment” ayah dan anak yang tidak pernah
akan saya lupakan dan mungkin akan saya ceritakan ke anak saya kelak.
Satu lagi ekspresi cinta ayah ke saya –yang selama ini
membuat saya malu—adalah ayah sangat bangga menceritakan prestasi sekolah saya.
Ya, saya memang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata dan nilai raport saya
selalu diatas 8. Saya ingat, setiap selesai mengambil raport di sekolah, ayah
tidak bisa menghilangkan muka sumringah di wajahnya. Biasanya ayah mentraktir
kami makan es krim di warung cina dekat rumah. Dan saat lebaran, ayah tidak
akan bosan menceritakan ke semua tamu nilai-nilai raport saya. Saat itu saya
malu dan selalu meminta ayah untuk berhenti bicara atau mengalihkan pokok
pembicaraan ke topik yang umum dan standar untuk pertemuan Lebaran.
Di saat-saat terakhir, saat melihat ayah lumpuh, terpaku
pada tempat tdur rumah sakit, dengan tubuh layu dipasangi alat-alat kedokteran
untuk membantunya tetap hidup, saya tidak kuat melihat ia seperti itu, saya
tidak kuasa melihat ayah yang dulu segar bugar, kuat dan cekatan menjadi
demikian lemah tak berdaya. Dan Tuhan Yang Maha Baik, mungkin tidak ingin
menyiksanya demikian lama. Hari Sabtu di saat kami akan menjemputnya pulang ke
rumah, saya melihat wajah pasrah ayah,
ayah lelah, lelah dengan semua pengobatan ini. Saya berusaha untuk tidak
melakukan kontak mata, saya tahu ini bukan akhir yang ayah harapkan saat muda
dulu. Ayah yang polisi, yang tegap dan perkasa, kini menjadi laki-laki tua tak
berdaya.
Minggu, hari pertama ayah menjalani “home care”, keadaan
masih baik-baik saja, memasuki malam Ibu
menelpon saya untuk membeli paracetamol, “badan bapakmu demam, Mas Undang
perawatnya bilang untuk beli sanmol”.
Malam itu, entah mengapa saya malas untuk tidur di kamar
saya, saya tdur di sofa, di luar kamar ayah. Sepanjang malam saya mendengar
nafas ayah yang sudah sangat sulit, perlu perjuangan keras untuk bisa menangkap
1mm oksigen ke paru-parunya. Entah mengapa, saya merasa ini adalah saat-saat
terakhir ayah. Hari itu saya beriniasiatif untuk sholat dhuha dilanjutkan
dengan membaca surat . yasin dan berdoa. Saya tak kuasa membendung air mata di
saat sholat di saat saya membaca surat yasin.
Saya yakin Allah Maha Pengampun,
Allah Maha Baik, Allah berkuasa untuk memberikan pemaafan, berkuasa pula
memberikan santunan karena itu dia mempunyai nama Al Halim. Saya berdoa, “Yaa
Allah, hanya Engkau yang berhak memberikan taubat, jika ada salah satu amal
yang ayah saya lakukan dengan ikhlas terutama kerja kerasnya membesarkan,
mendidik dan membiayai kami, buka pintu tobatMu, lancarkan dan mudahkan proses
sakratul mautnya”.
Di kamar saya dengar suara Ibu melafalkan zikir di telinga
kanan ayah dengan penuh emosional, emosi sedih dan penuh harap atas keajaiban
dan belas kasihan Allah. Ibu memanggil saya untuk masuk ke kamar, “sini ndok,
coba bacain yasin atau zikir untuk Bapakmu. Aku mengelak, “barusan sudah dua
kali bu, istirahat sebentar ya, abis zuhur Sari bacain lagi”.
Beberapa menit kemudian, suara nafas ayah yang penuh
kesulitan menangkap oxigen berhenti. Saya mulai merasa tidak enak. Suara zikir
Ibu juga berhenti. Saya masuk ke kamar ayah bersamaan dengan suara Ibu yang
memanggil saya. “Ndok, kok sudah ngga ada suaranya ya? Kok Bapakmu diam?’ Saya
mendekatkan jari saya ke depan lubang hidung Bapak. Tidak ada hembusan nafas.
Saya berusaha mencari detak nadi di pergelangan tangan dan lehernya, tetapi gagal. Saya bingung,
selama hidup di dunia tidak pernah menghadapi kematian di depan mata.
Saya segera menelpon adik saya, “Pit, sepertinya Bapak sudah
tidak ada, tidak ada tanda-tanda kehidupan” Adik saya segera datang ke rumah.
Sekuat tenaga saya berusaha menahan mata tidak basah, tetapi sulit. Saya
berusaha tegar, bahkan di saat kami berdua mencari dokter untuk memastikan ayah
kami sudah meninggal. Selanjutnya berusaha menahan getar pada suara saat saya menghubungi kakak-kakak saya.
Bahkan sampai detik sang dokter memastikan ayah saya sudah tidak bernyawa, saya masih belum sadar ayah saya benar-benar meninggalkan kami untuk selamanya. Bahkan sampai saat ayah dimandikan, disholatkan, dimakamkan, saya menangis, tapi masih belum sadar ayah kami telah berada di alam yang lain. Hanya saja setiap bangun tidur, mata saya sembab, sadar, ayah bukan hanya pergi 1 atau 7 hari ke rumah sakit, kali ini ayah benar-benar pergi untuk selama-lamanya.
Bahkan sampai detik sang dokter memastikan ayah saya sudah tidak bernyawa, saya masih belum sadar ayah saya benar-benar meninggalkan kami untuk selamanya. Bahkan sampai saat ayah dimandikan, disholatkan, dimakamkan, saya menangis, tapi masih belum sadar ayah kami telah berada di alam yang lain. Hanya saja setiap bangun tidur, mata saya sembab, sadar, ayah bukan hanya pergi 1 atau 7 hari ke rumah sakit, kali ini ayah benar-benar pergi untuk selama-lamanya.
Saya hanya berdoa, Allah benar-benar menerima taubatnya.
Ayah pergi dalam 2 helaan nafas. Wajah ayah tersenyum setelah dimandikan oleh
istri dan ke lima anak-anaknya, ayah telah bebas dari segala macam penyakit
yang menderanya
Satu hal yang saya yakini inilah akhir cerita terbaik yang Allah pilihkan untuk ayah, saat beliau wafat, istri -yang dalam bahasa Jawa disebut garwo atau partner- selalu ada di sisinya, mendampingi, membimbing ayah sampai malaikat maut mencabut nyawanya, dan kelima anak-anaknya berkumpul semua di Jakarta.
Bibir ayah yang agak miring karena stroke, saat selesai dimandikan terlihat tersenyum.
Satu hal yang saya yakini inilah akhir cerita terbaik yang Allah pilihkan untuk ayah, saat beliau wafat, istri -yang dalam bahasa Jawa disebut garwo atau partner- selalu ada di sisinya, mendampingi, membimbing ayah sampai malaikat maut mencabut nyawanya, dan kelima anak-anaknya berkumpul semua di Jakarta.
Bibir ayah yang agak miring karena stroke, saat selesai dimandikan terlihat tersenyum.
Untuk ayah, saat kami rindu, kami kirim al fatihah dan
salawat untuk menemanimu di alam kubur.
Semoga beliau mendapatkan tempat terindah disisiNya :)
ReplyDeleteHi Arma : terima kasih ya, Amin YRA
ReplyDeleteSama-sama mbakyu, itu aku Utia. Nama akun google ku Armatia..hehe..
ReplyDeleteUtia, arma, suarma halah namamu banyak sekali hehee thanks ya, selagi ortu masih hidup, senangin ya sekarang ya say
ReplyDeleteBe strong ya Mba. Saya jg sempat mengalami apa yang mba alami sekarang. Bersyukur ya mba masih bisa mendoakan ayak di saat terakhir :')
ReplyDeleteDewi : thanks sdh mampir dan baca tulisan ini. iya senang sudah minta maap juga ke alm. Bapak. be strong juga ya kamu. sama-sama kita doain
Deletesangat terhanyut sekali membaca, semoga saya selalu bisa memberikan hal-hal terbaik buat keluarga terutama ibu dan bapak selagi mereka ada, amin :)
ReplyDeleteSeno : thanks komennya. iya, mumpung masih sehat dan bisa liat kita berhasil, senangin ortu ya, drpd nyesal :-)
Delete