Trip With Sari Musdar

Trip With Sari Musdar
Spring Euro Trip With Sari Musdar

Facebook Badge

2012/07/03

Ode to My (belated and beloved) Father


Ayah saya baru saja meninggal Senin lalu. Rasanya aneh menyebut kata meninggal  sebagai predikat kalimat bersubyek ayah. Sampai detik ini saya belum benar-benar “menyadari” ayah saya sudah meninggalkan kami, sudah tidak tinggal di alam yang sama dengan kami. Rasanya hanya  pergi untuk beberapa hari. Saya baru sadar, ayah saya memang sudah meninggal setiap pagi beberapa menit setelah mata ini terbuka, setelah nyawa kembali berkumpul dengan raga, dan itu membuat saya menangis, saya anak yatim saat ini. 

Hubungan saya dengan ayah beberapa  tahun belakangan ini memang kurang baik, karena kami sama-sama keras kepala dan berbeda prinsip hidup, ditambah kenyataan dari kecil saya bukan anak emas ayah saya.
Bahkan saat ayah koma, saat kesadarannya drop di angka terendah menurut dokter yang datang ke rumah dengan ambulans, alam bawah sadar ayah mengingat dan memanggil-manggil nama salah satu kakak saya. 

Saya memang tidak terlalu dekat, tapi saya ingat, saat kecil, kami mempunyai hubungan yang harmonis. Saya masih ingat kenangan manis piknik bersama ayah, ibu, kakak-kakak dan adik saya. Ayah saya bukan orang yang ekspresif untuk mengungkapkan rasa sayangnya pada ke lima anaknya, tapi saya baru menyadarinya di tahun terakhir saya bersama beliau.  Ayah jungkir balik pontang panting mencari uang bahkan bekerja di sebuah universitas selama 5 tahun setelah pensiun  demi kelima anak-anaknya. Itulah wujud cintanya yang  terbesar kepada kami darah dagingnya. Dan seperti  yang saya katakan tadi, hubutngan saya dan ayah kurang dekat, tapi ada beberapa tahun dimana dia pernah menjadi hero dimata saya sebagi putrinya. Ada waktu-waktu kualitatif menurut saya kami sangat intim sebagai ayah dan anak. 

Ayah saya sangat senang olahraga, dia mahir di bidang terjun payung, menembak, sepak bola dan volley, bahkan untuk olahraga yang terakhir, dia menjadi pelatih untuk polisi-polisi muda. Sayangnya bakat olahraga ayah tidak menurun ke salah satu anaknya. Sebagai instruktur olahraga, seringkali ayah mendapat tiket masuk gratis liga sepakbola dan volley. Saya ingat sekali di masa kami kecil, tahun 1980an awal, saat itu satu-satunya kendaraan yang ayah miliki vespa biru. Setiap ada liga sepakbola, ayah sering bergantian  mengajak 2 atau 3 dari kelima anaknya membonceng di vespa untuk ikut menonton sepak bola di istora. 

Saya saat itu tidak mengerti bola, tidak bisa mengerti mengapa ayah dan banyak penonton di Istora Senayan berteriak bagai orang gila. Saat itu saya malah sibuk mengamati tingkah pola penonton yang menggelinjang jika timnya kebobolan dan berteriak senang  jika timnya berhasil mencetak angka. Saya mengamati mereka sambil menikmati es krim coklat. Acara menonton bola Bapak-anak ini menjadi semakin menarik karena biasanya diakhiri dengan menikmati jajanan khas indonesia, sop daging, soto babat betawi, sate dan nasi goreng di kawasan Blok S. Inilah “sweet moment” ayah dan anak yang tidak pernah akan saya lupakan dan mungkin akan saya ceritakan ke anak saya kelak. 

Satu lagi ekspresi cinta ayah ke saya –yang selama ini membuat saya malu—adalah ayah sangat bangga menceritakan prestasi sekolah saya. Ya, saya memang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata dan nilai raport saya selalu diatas 8. Saya ingat, setiap selesai mengambil raport di sekolah, ayah tidak bisa menghilangkan muka sumringah di wajahnya. Biasanya ayah mentraktir kami makan es krim di warung cina dekat rumah. Dan saat lebaran, ayah tidak akan bosan menceritakan ke semua tamu nilai-nilai raport saya. Saat itu saya malu dan selalu meminta ayah untuk berhenti bicara atau mengalihkan pokok pembicaraan ke topik yang umum dan standar untuk pertemuan Lebaran. 

Di saat-saat terakhir, saat melihat ayah lumpuh, terpaku pada tempat tdur rumah sakit, dengan tubuh layu dipasangi alat-alat kedokteran untuk membantunya tetap hidup, saya tidak kuat melihat ia seperti itu, saya tidak kuasa melihat ayah yang dulu segar bugar, kuat dan cekatan menjadi demikian lemah tak berdaya. Dan Tuhan Yang Maha Baik, mungkin tidak ingin menyiksanya demikian lama. Hari Sabtu di saat kami akan menjemputnya pulang ke rumah, saya  melihat wajah pasrah ayah, ayah lelah, lelah dengan semua pengobatan ini. Saya berusaha untuk tidak melakukan kontak mata, saya tahu ini bukan akhir yang ayah harapkan saat muda dulu. Ayah yang polisi, yang tegap dan perkasa, kini menjadi laki-laki tua tak berdaya.
Minggu, hari pertama ayah menjalani “home care”, keadaan masih baik-baik saja, memasuki  malam Ibu menelpon saya untuk membeli paracetamol, “badan bapakmu demam, Mas Undang perawatnya bilang untuk beli sanmol”.

Malam itu, entah mengapa saya malas untuk tidur di kamar saya, saya tdur di sofa, di luar kamar ayah. Sepanjang malam saya mendengar nafas ayah yang sudah sangat sulit, perlu perjuangan keras untuk bisa menangkap 1mm oksigen ke paru-parunya. Entah mengapa, saya merasa ini adalah saat-saat terakhir ayah. Hari itu saya beriniasiatif untuk sholat dhuha dilanjutkan dengan membaca surat . yasin dan berdoa. Saya tak kuasa membendung air mata di saat sholat di saat saya membaca surat yasin. 

Saya yakin Allah Maha Pengampun, Allah Maha Baik, Allah berkuasa untuk memberikan pemaafan, berkuasa pula memberikan santunan karena itu dia mempunyai nama Al Halim. Saya berdoa, “Yaa Allah, hanya Engkau yang berhak memberikan taubat, jika ada salah satu amal yang ayah saya lakukan dengan ikhlas terutama kerja kerasnya membesarkan, mendidik dan membiayai kami, buka pintu tobatMu, lancarkan dan mudahkan proses sakratul mautnya”. 

Di kamar saya dengar suara Ibu melafalkan zikir di telinga kanan ayah dengan penuh emosional, emosi sedih dan penuh harap atas keajaiban dan belas kasihan Allah. Ibu memanggil saya untuk masuk ke kamar, “sini ndok, coba bacain yasin atau zikir untuk Bapakmu. Aku mengelak, “barusan sudah dua kali bu, istirahat sebentar ya, abis zuhur Sari bacain lagi”. 

Beberapa menit kemudian, suara nafas ayah yang penuh kesulitan menangkap oxigen berhenti. Saya mulai merasa tidak enak. Suara zikir Ibu juga berhenti. Saya masuk ke kamar ayah bersamaan dengan suara Ibu yang memanggil saya. “Ndok, kok sudah ngga ada suaranya ya? Kok Bapakmu diam?’ Saya mendekatkan jari saya ke depan lubang hidung Bapak. Tidak ada hembusan nafas. Saya berusaha mencari detak nadi di pergelangan tangan  dan lehernya, tetapi gagal. Saya bingung, selama hidup di dunia tidak pernah menghadapi kematian di depan mata. 

Saya segera menelpon adik saya, “Pit, sepertinya Bapak sudah tidak ada, tidak ada tanda-tanda kehidupan” Adik saya segera datang ke rumah. Sekuat tenaga saya berusaha menahan mata tidak basah, tetapi sulit. Saya berusaha tegar, bahkan di saat kami berdua mencari dokter untuk memastikan ayah kami sudah meninggal. Selanjutnya berusaha menahan getar pada suara saat saya menghubungi kakak-kakak saya.

Bahkan sampai detik sang dokter memastikan ayah saya sudah tidak bernyawa, saya masih belum sadar ayah saya benar-benar meninggalkan kami untuk selamanya. Bahkan sampai saat ayah dimandikan, disholatkan, dimakamkan, saya menangis, tapi masih belum sadar ayah kami telah berada di alam yang lain. Hanya saja setiap bangun tidur, mata saya sembab, sadar, ayah bukan hanya pergi 1 atau 7 hari ke rumah sakit, kali ini ayah benar-benar pergi untuk selama-lamanya.

Saya hanya berdoa, Allah benar-benar menerima taubatnya. Ayah pergi dalam 2 helaan nafas. Wajah ayah tersenyum setelah dimandikan oleh istri dan ke lima anak-anaknya, ayah telah bebas dari segala macam penyakit yang menderanya

Satu hal yang saya yakini inilah akhir cerita terbaik yang Allah pilihkan untuk ayah, saat beliau wafat, istri -yang dalam bahasa Jawa disebut garwo atau partner- selalu ada di sisinya, mendampingi, membimbing ayah sampai malaikat maut mencabut nyawanya, dan kelima anak-anaknya berkumpul semua di Jakarta.
Bibir ayah yang agak miring karena stroke, saat selesai dimandikan terlihat tersenyum. 

Untuk ayah, saat kami rindu, kami kirim al fatihah dan salawat untuk menemanimu di alam kubur.

8 comments:

  1. Semoga beliau mendapatkan tempat terindah disisiNya :)

    ReplyDelete
  2. Hi Arma : terima kasih ya, Amin YRA

    ReplyDelete
  3. Sama-sama mbakyu, itu aku Utia. Nama akun google ku Armatia..hehe..

    ReplyDelete
  4. Utia, arma, suarma halah namamu banyak sekali hehee thanks ya, selagi ortu masih hidup, senangin ya sekarang ya say

    ReplyDelete
  5. Be strong ya Mba. Saya jg sempat mengalami apa yang mba alami sekarang. Bersyukur ya mba masih bisa mendoakan ayak di saat terakhir :')

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dewi : thanks sdh mampir dan baca tulisan ini. iya senang sudah minta maap juga ke alm. Bapak. be strong juga ya kamu. sama-sama kita doain

      Delete
  6. sangat terhanyut sekali membaca, semoga saya selalu bisa memberikan hal-hal terbaik buat keluarga terutama ibu dan bapak selagi mereka ada, amin :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Seno : thanks komennya. iya, mumpung masih sehat dan bisa liat kita berhasil, senangin ortu ya, drpd nyesal :-)

      Delete

Any comments, share your experience or ask?